Catatan: Masayu Indriaty Susanto
Pengetahuan sering diasosiasikan dengan cahaya: simbol pencerahan, kemajuan, dan kebebasan dari kegelapan.
Namun, seperti cahaya yang terlalu terang dapat menyilaukan mata, pengetahuan yang tidak terarah dapat menenggelamkan manusia dalam labirin ketidaktentuan.
Inilah paradoks pengetahuan: semakin kita tahu, semakin kita menyadari betapa luasnya yang belum kita ketahui.
Filsafat klasik sudah lama menggugat hubungan antara tahu dan tidak tahu.
Socrates menegaskan, “Aku tahu bahwa aku tidak tahu."
Kalimat yang menggambarkan bahwa kesadaran akan ketidaktahuan justru adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan.
Dalam semangat itu, pengetahuan bukanlah akumulasi data, melainkan proses kesadaran yang terus berkembang.
Semakin banyak kita belajar, semakin tampak batas-batas akal budi yang mengurung kita.
Immanuel Kant menyebut keterbatasan itu sebagai Grenzen der Vernunf, batas-batas rasio.
Pikiran manusia selalu terdorong untuk menembus batasnya sendiri. Namun pada saat yang sama terikat oleh struktur logika dan persepsi yang ia miliki.
Kita ingin memahami segalanya, tapi hanya dapat memaknai sebagian kecil dari kenyataan.
Paradoks ini menjadikan pengetahuan bukan sekadar jalan menuju kebenaran. Melainkan juga perjalanan menuju kerendahan hati intelektual.
BACA JUGA:Transformasi Komunikasi: Dosen UBD Terbitkan Buku Mengenai Public Relations 5.0