Ketimpangan Sosial, Flexing Pejabat, dan Luka Perbandingan Diri di Media Sosial

Selasa 16-09-2025,11:29 WIB

Sementara itu, review sistematis di jurnal yang terindeks Web of Science (WoS) menemukan bahwa sifat “selalu hadir” media sosial memperkuat negative social comparison dan rasa iri, yang pada gilirannya memperburuk kepuasan hidup.

Lebih jauh lagi dari studi di Wuhan, Tiongkok, mempertegas temuan ini, yaitu semakin tinggi intensitas penggunaan media sosial, semakin besar risiko depresi, dengan perbandingan sosial negatif sebagai mediator utama.

 Bahkan, studi di Jerman terhadap mahasiswa internasional mencatat bahwa pengguna dengan kepuasan hidup rendah semakin rentan mengalami fear of missing out (FOMO) karena paparan konstan dari unggahan teman sebaya nya.

Di Asia Tenggara, penelitian di Thailand membuktikan bahwa kebahagiaan subjektif lebih dipengaruhi oleh bagaimana mereka membandingkan pendapatannya dengan orang lain, bukan dari jumlah pendapatan absolut.

Hal ini sangat relevan dengan fenomena flexing pejabat, yaitu ketika pejabat memperlihatkan gaya hidup mewah, publik secara alami menjadikannya sebagai tolok ukur dan merasa kehidupannya jauh tertinggal.

Studi-studi psikologi di Indonesia tak kalah memperkuat fenomena ini. Penelitian di Yogyakarta menemukan bahwa social comparison yang tinggi berkorelasi dengan meningkatnya kecemasan sosial di kalangan anak muda. 

Studi di Universitas Airlangga menunjukkan bahwa ibu muda yang sering membandingkan diri dengan unggahan di Instagram lebih rentan mengalami depresi pascamelahirkan.

BACA JUGA:Universitas Bina Darma Kembangkan Buku Cerita Digital Adaptif untuk Anak ASD Lewat FGD Inovatif

BACA JUGA:Dosen Universitas Bina Darma Terapkan Digitalisasi untuk Pertanian Sawit di Desa Pengabuan PALI

Riset lain di Universitas Negeri Padang menemukan korelasi negatif antara perbandingan diri di media sosial dengan kepuasan hidup mahasiswa. Dengan kata lain, media sosial bukan hanya mengubah cara orang bersosialisasi, tetapi juga menggerus rasa percaya diri dan kebahagiaan jangka panjang.

Sayangnya, ketidaksetaraan digital ini makin memperburuk keadaan. Survei Kominfo menunjukkan literasi digital masyarakat Indonesia masih berada pada level sedang, dengan kelemahan terbesar yaitu pada kemampuan memilah informasi. Data BPS juga mengungkap bahwa akses internet lebih rendah di desa (67 persen rumah tangga) dibanding kota (86 persen).

Artinya, bahkan dalam mengakses media sosial pun, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Akibatnya, sebagian masyarakat lebih mudah terjebak pada ilusi media sosial, tanpa kemampuan kritis untuk memahami bahwa yang terlihat hanyalah potongan terbaik dan kurasi dari kehidupan orang lain.

Jika dirangkai, benang merahnya jelas, bahwa fenomena flexing pejabat di Nepal dan Indonesia hanyalah permukaan dari persoalan global yang lebih besar, yaitu ketimpangan sosial yang makin transparan akibat media sosial. 

Di satu sisi, media sosial menampilkan capaian, kemewahan, dan prestise. Namun di sisi lain, ia menimbulkan rasa terasing, minder, bahkan putus asa bagi mereka yang sedang berjuang di bawah tekanan. Tragedi Bandung hanyalah salah satu contoh ekstrem dari luka perbandingan diri ini.

Karena itu, solusi harus bergerak di dua arah. Pertama, memperkuat literasi digital agar masyarakat memahami bahwa media sosial bukan tolok ukur mutlak dalam menilai kehidupan. Kesadaran ini penting untuk meredam dampak psikologis dari perbandingan sosial yang berlebihan. 

Kedua, mempersempit jurang ketimpangan nyata melalui kebijakan publik, yaitu pendidikan yang merata, lapangan kerja yang layak, serta jaring pengaman sosial yang kuat. 

Kategori :