Ketimpangan Sosial, Flexing Pejabat, dan Luka Perbandingan Diri di Media Sosial

Selasa 16-09-2025,11:29 WIB

Tidak sedikit kasus kriminalitas, kehancuran rumah tangga, hingga tragedi bunuh diri berakar dari jebakan ilusi konsumtif ini.

Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi ruang ekspresi, melainkan panggung multidimensi yang memperparah ketimpangan sosial secara kasat mata, menjerat psikologi masyarakat, dan pada akhirnya mengikis kohesi sosial.

Jika dulu jurang perbedaan ekonomi hanya terasa di ruang nyata, dari akses pendidikan hingga layanan publik, kini media sosial memperbesar sekaligus memperjelas jurang itu. 

Dunia digital, yang awalnya diyakini sebagai ruang egaliter, justru menjelma menjadi etalase mewah bagi mereka yang berkuasa atau beruntung, sementara kelompok lain hanya menjadi penonton. 

Gempuran social comparison ini kian kuat karena sifat media sosial yang “omnipresent”, yaitu hadir setiap saat di genggaman tangan, menyusup lewat notifikasi, algoritma, hingga linimasa yang tak pernah berhenti mengalir. 

BACA JUGA:43 Polisi dan Warga Jadi Korban Kerusuhan, Presiden: Perusuh Akan Ditindak Tegas, Bakar Gedung DPR itu Makar

BACA JUGA: Beri Rasa Aman kepada Warga Pasca Kerusuhan di Palembang, TNI-Polri Gelar Patroli Skala Besar

Tragedi di Bandung baru-baru ini menjadi potret paling menyayat hati dari persoalan ini. Seorang ibu rumah tangga nekat mengakhiri hidupnya setelah terlebih dahulu meracuni dua anaknya karena terhimpit masalah keuangan.

 Peristiwa memilukan ini bukanlah kasus tunggal, melainkan “alarm “ keras bahwa krisis ekonomi keluarga, ketika bertemu dengan ilusi kemewahan yang terus dipertontonkan di media sosial, dapat mendorong seseorang pada titik paling ekstrem, yaitu kehilangan harapan untuk hidup. 

Dalam konteks yang lebih luas, tragedi semacam ini bukan sekadar masalah personal, tetapi gejala sosial yang menggerogoti fondasi bangsa.

Tekanan multidimensi, dari inflasi, pinjaman online, hingga gempuran social comparison digital, berakumulasi menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Jika tidak direspons dengan serius, fenomena ini berpotensi merusak daya tahan masyarakat, melemahkan kohesi sosial, dan pada akhirnya menggoyahkan legitimasi serta peran negara dalam melindungi warganya. 

Inilah wajah baru ketidaksetaraan, sebuah tontonan yang dipamerkan tanpa henti di layar ponsel setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit.

Ketimpangan sosial kini tidak hanya terlihat, tetapi juga terus-menerus dirasakan secara psikologis, menjadikan perbandingan diri sebagai luka kolektif yang sulit dihindari.

Fenomena ini juga ternyata bersifat lintas budaya.

 Sejumlah studi internasional menegaskan dampak dari kehadiran media sosial yang tak terhindarkan ini. Sebuah meta analisis yang dipublikasikan oleh Elsevier (2024) menunjukkan bahwa paparan intensif terhadap media sosial berhubungan signifikan dengan meningkatnya depresi, kecemasan, dan gangguan tidur pada remaja serta dewasa muda. 

Kategori :