BACA JUGA:Presiden Prabowo Panggil Kapolri dan Panglima TNI: Atasi Aksi Anarkis, dan Segera Pulihkan Situasi
Dengan biaya bahan baku naik, mereka terpaksa menaikkan harga produk atau mengurangi margin keuntungan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa melemahkan daya saing UMKM di pasar domestik.
Peran Bank Indonesia dan Pemerintah
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) bertugas menjaga stabilitas nilai tukar.
Namun, dalam kasus kali ini, pelemahan rupiah lebih banyak dipicu faktor non-ekonomi. Oleh karena itu, Prof. Imam menilai solusi tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan moneter.
Bank Indonesia memang wajib menjaga stabilitas eksternal. Tetapi karena sumber pelemahan rupiah berasal dari faktor politik dan keamanan, penyelesaiannya juga harus menyentuh ranah tersebut.
"Pendekatan persuasif, komunikasi publik, serta langkah terukur aparat keamanan untuk mencegah pihak-pihak yang menunggangi situasi sangat diperlukan,” ujarnya.
Dengan kata lain, koordinasi antara kebijakan moneter dan stabilisasi politik harus berjalan beriringan.
Pemerintah perlu memberikan sinyal kuat bahwa situasi politik terkendali, agar kepercayaan investor dan masyarakat kembali pulih.
Jika ketidakstabilan politik tidak segera diredam, rupiah berpotensi melemah lebih dalam.
Pasar keuangan biasanya bereaksi cepat terhadap ketidakpastian. Semakin lama gejolak berlangsung, semakin besar risiko volatilitas rupiah.
BACA JUGA:Presiden Prabowo Melayat ke Rumah Pengemudi Ojek Online yang Tewas Dilindas Barracuda Brimob
BACA JUGA:Jajaran Polda Sumsel Gelar Salat Gaib untuk Almarhum Driver Ojol Affan Kurniawan
“Kalau situasi demo ini berlanjut tanpa ada solusi, rupiah bisa menembus level psikologis baru yang lebih rendah. Maka strategi penyelesaian masalah demo harus komprehensif, tidak hanya lewat kebijakan ekonomi, tapi juga stabilisasi politik dan keamanan,” tegas Prof. Imam.
Pelemahan rupiah hingga Rp16.490 per dolar AS pada 30 Agustus 2025 menjadi cerminan rapuhnya stabilitas ekonomi Indonesia di tengah gejolak politik.
Demonstrasi terhadap DPR memicu sentimen negatif yang memperburuk persepsi investor asing. Akibatnya, risiko capital outflow meningkat, harga barang impor melonjak, dan UMKM tertekan.