Bahasa dalam Kitab Simbur Cahaya merefleksikan pola konteks tinggi ini. Menggunakan gaya bahasa yang tidak langsung, penuh metafora, dan bersifat halus, yang memerlukan pemahaman terhadap konteks budaya untuk bisa dimaknai secara utuh.
Sedangkan masyarakat dengan konteks rendah cenderung menyampaikan informasi secara eksplisit, langsung, dan jelas melalui kata-kata (verbal). Masyarakat ini cenderung egaliter, kurang memandang hirarki, individualis, dan aturan komunikasi bersifat universal dan konsisten.
“Komunikasi di dunia digital cenderung lebih cocok dengan budaya konteks rendah. Karena bahasa yang digunakan di dunia digital cenderung bahasa tertulis dan minim ekspresi,” ujar Profesor Deddy Mulyana, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran kepada penulis ketika dihubungi, Jumat (28/6) kemarin.
Namun, karakter masyarakat Indonesia yang suka berkumpul atau guyub justru cenderung merupakan karakter budaya konteks tinggi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat konteks rendah yang cenderung independen, egaliter, dan lugas.
"Fenomena FOMO juga terjadi karena pengaruh budaya konteks tinggi ini,” lanjut pakar komunikasi antarbudaya ini.
FOMO, Fear of Missing Out, adalah perasaan cemas karena kekuatiran ketinggalan informasi, tren, atau acara yang sedang popular di sekitarnya ini membuat banyak warga yang akhirnya hanya memilih mengikuti arus.
Namun, di dunia digital, benturan kultur jamak terjadi. Inilah yang menyebabkan fenomena saling hina, saling membantah, bahkan debat tak berujung dalam kolom komentar di media sosial.
Mungkinkah masyarakat dari kedua pola komunikasi ini bisa “berdamai” di jagad digital?
Prof Deddy Mulyana menawarkan satu opsi menarik yang disebutnya pola komunikasi “konteks menengah”.
“Jadi bukan tidak mungkin budaya konteks tinggi mewarnai komunikasi digital. Tentu saja sangat mungkin. Namun kedua budaya itu harus saling menyesuaikan, dicari keseimbangannya yang membuat semua netizen nyaman. Saya menyebutnya dengan komunikasi konteks menengah,” tambahnya lagi.
Masing masing konteks, ujar Prof Deddy Mulyana, diambil sisi positifnya, sehingga tercipta komunikasi dengan keseimbangan yang membuat nyaman semua pihak. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana sosialisasinya.
“Harus ada contoh yang baik, dan itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Ulama, pemuka, pemimpin, atau influencer. Asal yang dicontohkan adalah hal-hal positif. Dengan komunikasi yang baik maka mengkritisi tidak harus dengan menyakiti bukan? Termasuk dalam komunikasi digital,” ujarnya.
Seperangkat pasal dan aturan yang terangkum dalam Simbur Cahaya merupakan wujud peninggalan leluhur yang sangat menjunjung etika, menjaga kehormatan dan harmoni.
Selama ratusan tahun kitab ini menjadi acuan dalam tata krama dan pedoman etika bagi masyarakat Sumatera Selatan.
Begitu juga dengan kitab-kitab klasik khas nusantara lainnya. Misalnya Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci, Jambi, Kitab Tambo Minangkabau di Sumatera Barat, Adat Perpatih dan Adat Tumenggung di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Dan Kitab Undang-Undang Adat Kutai di Kalimantan Barat.
Kitab-kitab inilah yang membentuk karakter khas dan kesopanan bangsa Indonesia yang terkenal sopan dan ramah.