AKP Ryanto yang menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Solok Selatan sebelumnya menangkap seorang pengusaha tambang ilegal.
Namun, ia kemudian ditembak oleh AKP Dadang yang diduga melindungi aktivitas tambang tersebut.
Kasus ini menggambarkan bagaimana tambang ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menciptakan ketegangan sosial dan bahkan pelanggaran hukum di kalangan penegak hukum itu sendiri.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) menyebut kasus ini sebagai salah satu contoh bagaimana tambang ilegal sering kali dilindungi oleh oknum tertentu, sehingga sulit untuk diberantas.
Bencana dan Risiko Lingkungan
Dampak buruk dari tambang ilegal di Solok Selatan sudah sering dirasakan oleh masyarakat. Longsor di bekas tambang telah menyebabkan banyak korban jiwa.
Pada tahun 2021, misalnya, enam orang penambang tewas tertimbun longsor di Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batanghari.
Insiden serupa juga pernah terjadi pada tahun-tahun berikutnya, menewaskan lebih banyak korban.
Selain itu, tambang ilegal juga mempercepat kerusakan lingkungan.
Hutan lindung yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem terus dirambah. Sungai-sungai yang menjadi sumber air utama masyarakat tercemar oleh limbah tambang, mengancam kesehatan penduduk setempat.
Pemerintah telah berupaya untuk menertibkan tambang ilegal di Solok Selatan. Namun, langkah ini sering kali terhambat oleh kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan keterlibatan oknum tertentu.
Penangkapan terhadap pelaku tambang ilegal umumnya hanya menjangkau pekerja lapangan, sementara pemilik tambang sering kali lolos dari jeratan hukum.
Selain itu, pemerintah daerah menghadapi tantangan besar untuk mengelola potensi tambang yang ada secara berkelanjutan.
Salah satu solusi yang diajukan adalah melegalkan tambang ilegal dan mengatur operasionalnya agar sesuai dengan standar lingkungan.