Situasi memanas pada 28 Oktober 1945 ketika para pejuang Indonesia yang dipimpin oleh Bung Tomo, melalui siaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), mengobarkan semangat perlawanan.
Serangan terhadap pos-pos pertahanan Sekutu dilancarkan, dan berbagai tempat penting berhasil direbut oleh milisi dan rakyat Surabaya.
Meskipun sempat terjadi gencatan senjata pada 29 Oktober, bentrokan-bentrokan bersenjata tetap tidak terhindarkan.
Pada 30 Oktober 1945, Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh dalam sebuah insiden di Surabaya.
Kematian Mallaby membuat Inggris sangat marah dan menyebabkan eskalasi kekerasan. Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, yang menggantikan Mallaby, mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945 yang berisi tiga tuntutan:
Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri.
Semua senjata yang dimiliki oleh pejuang Indonesia harus diserahkan.
Para pemimpin Indonesia harus datang ke markas Sekutu sebelum pukul 06.00 pagi untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Inggris mengancam akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara.
Pertempuran 10 November: Pertarungan Mematikan
Rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut.
Tepat pada 10 November 1945 pagi, Inggris melancarkan serangan besar-besaran ke kota Surabaya dengan kekuatan penuh, menggunakan tank, pesawat tempur, dan kapal perang.
Namun, perlawanan sengit dari arek-arek Surabaya yang dipimpin oleh Bung Tomo dan didukung oleh berbagai elemen masyarakat.
Termasuk santri-santri dari pesantren yang dipimpin oleh ulama seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Hasbullah, membuat pasukan Sekutu kewalahan.
Meskipun dengan persenjataan yang terbatas, para pejuang Indonesia tidak gentar.
Mereka bertempur habis-habisan selama tiga minggu penuh.