Sertifikasi halal di Indonesia dilakukan melalui dua skema: skema reguler dan self-declare.
Pada skema reguler, pelaku usaha mengajukan sertifikasi melalui Sihalal BPJPH, di mana produknya kemudian diuji dan disidangkan dalam sidang fatwa oleh Komisi Fatwa MUI.
Sertifikat halal kemudian diterbitkan secara digital oleh BPJPH.
Sementara pada skema self-declare, pelaku usaha mikro dan kecil yang produknya memenuhi kriteria bahan halal dan proses produksi yang sederhana bisa mengajukan sertifikasi langsung.
Setelah melewati pendampingan dan sidang fatwa oleh Komite Fatwa Produk Halal, BPJPH menerbitkan sertifikat halal secara digital melalui Sihalal.
Rapat koordinasi ini menunjukkan komitmen BPJPH dan MUI untuk memperkuat sistem jaminan halal di Indonesia.
Dengan adanya solusi yang telah disepakati, diharapkan masyarakat dapat lebih percaya pada sertifikasi halal yang dikeluarkan BPJPH.
Lebih dari itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi pilar utama dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap produk-produk yang beredar di pasaran.
BACA JUGA:Pemerintah Akselerasi Sertifikasi Halal Produk Makanan-Minuman di 3.000 Desa Wisata
BACA JUGA:Usus Kotor Usai Lebaran, Berikut Tanda dan Minuman yang Dapat Membersihkan!
Konsolidasi yang dilakukan BPJPH bersama MUI dan Komite Fatwa Produk Halal ini menandai langkah signifikan dalam mengakselerasi proses sertifikasi halal di Indonesia, sekaligus memfasilitasi komunikasi yang lebih baik antara pelaku usaha, regulator, dan masyarakat.
“Melalui konsolidasi ini, kami berharap dapat memberikan kepastian hukum, kepastian syariah, serta melindungi umat dari konsumsi produk yang tidak sesuai dengan syariat Islam,” pungkas Aqil.
Dengan demikian, proses penyesuaian nama produk yang bermasalah ini tidak hanya berdampak pada kepatuhan regulasi, tetapi juga pada pembentukan budaya konsumsi yang sesuai dengan nilai-nilai agama di Indonesia.