Mengenai sita objek, ia sependapat dengan putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan selama belum ada kesepakatan tentang adanya cedera janji antara debitur dan kreditur, maka tidak boleh dilakukan penarikan secara sepihak.
Hal itu, lanjutnya diperkuat dengan putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa jika debitur tidak sukarela menyerahkan unit kendaraan, maka leasing berhak mengajukan sita melalui pengadilan.
"Namun hal tersebut tidak berlaku bagi pihak penadah alias bukan debitur yang tercatat saat pengajuan kredit kendaraan," tuturnya.
Lebih lanjut dikatakannya, saat ini pihak leasing sudah banyak menempuh jalur hukum pidana bagi debitur yang dengan sengaja mengambil keuntungan dengan menjual Kendaraan yg masih terikat jaminan fidusia ke pihak lain.
Jadi masih kata Abadi, masyarakat harus paham bahwa perjanjian yang terikat Fidusia itu saat ini ada sangsi pidananya.
Bahkan sudah banyak putusan pengadilan yang sudah dijalani oleh debitur karena telah dinilai melanggar atau menciderai perjanjian (wanprestasi) terhadap leasing.
Ia mencontohkan, saat ini ada beberapa kasus yang dihadapi oleh leasing, debitur dengan sengaja mengambil kredit kendaraan dengan uang muka (DP) Minim dan angsuran tidak dibayarkan sama sekali.
Namun ketika kendaraan diminta leasing utk dikembalikan, debitur malah meminta tebusan uang pengembalian lebih dari DP.
Hingga bahkan mengancam pihak leasing untuk tidak melakukan penarikan secara paksa dengan berlindung dibalik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
BACA JUGA:Berikut Sederet Kejadian Debt Collector Jadi Korban Penganiayaan Nasabah Sepanjang 5 Bulan Terakhir
BACA JUGA:Cerita Istri Aiptu FN saat Belasan Debt Collector Hadang Mobil di Parkiran Mall, Suami Terluka
Abadi pun memberikan kesimpulan bahwa masyarakat harus paham dengan dapat membedakan antara siapa pelaku dan siapa juga yang menjadi korban.