Saat itu Richard Carrington meneliti posisi kutub utara dan selatan matahari.
BACA JUGA:Imbas dari Badai Matahari, NASA Isukan Prediksi 'Kiamat' Internet 2025
Dia juga merupakan orang pertama yang mengetahui bahwa matahari tidak berotasi sebagai benda padat, namun materi matahari berputar lebih cepat di ekuator matahari dibandingkan di kutub-kutubnya.
Ia menemukan bahwa bintik hitam di permukaan matahari, yang disebut bintik matahari, bervariasi pada garis lintang selama siklus matahari 11 tahun.
Bersama dengan rekannya Richard Hodgson, ia melihat jilatan api matahari pertama yang cukup dahsyat.
Pada hari pertama bulan September 1859, Richard sedang mengamati bintik matahari dan melihat kilatan cahaya terang.
Apa yang dilihat Carrington itu diyakini sebagai corona mass ejection (CME), letusan dahsyat di dekat permukaan matahari.
Carrington segera melaporkan kilatan cahaya tersebut ke Royal Astronomical Society.
Ketika partikel matahari bergerak cepat melakukan perjalanan melintasi ruang angkasa menuju Bumi, hal ini menyebabkan medan geomagnetik menjadi rusak.
Ledakan partikel matahari menghantam, menekan dan merusak magnetosfer bumi, melepaskan sekitar 1.026 elektron volt energi.
Jumlah energi ini setara dengan bom nuklir berkekuatan 10 megaton.
Jumlah energi ini juga sama dengan jumlah energi yang dilepaskan matahari dalam waktu sekitar 10 detik.
BACA JUGA:SUBHANALLAH! Matahari di Amerika Serikat Berwarna Merah Darah, Apakah Pertanda Kiamat?
Peristiwa ini merupakan peristiwa Matahari terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah, karena dampaknya begitu luar biasa merusak jaringan teknologi di Bumi.
Badai geomagnetik ekstrem mereda keesokan harinya dan jaringan telegraf di seluruh dunia diperbaiki.