Dalam sejarahnya, El Nino diambil dari bahasa Spanyol yang berarti "anak kecil".
Pada tahun 1600-an, seorang nelayan asal Amerika Serikat menemukan sebuah fenomena air hangat di Samudra Pasifik.
Mereka kemudian menyebut peristiwa ini sebagai El Niño de Navidad karena puncaknya bisa sampai bulan Desember.
Seperti diwartakan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), kondisi El Nino dapat mempengaruhi cuaca secara signifikan.
Perairan yang lebih hangat ini bergerak dari Pasifik ke selatan.
Sementara kantor pemberitaan Reuters menyebutkan El Nino terjadi karena perairan menjadi sangat hangat di Pasifik timur.
Kondisi ini terbentuk setelah angin pasat yang bertiup dari timur ke barat di sepanjang Pasifik khatulistiwa menjadi lambat atau berbalik arah seiring dengan perubahan tekanan udara.
El Nino memberikan beberapa dampak yang signifikan di Indonesia, diantaranya kekeringan, kekurangan air bersih, gagal panen, serta kebakaran hutan dan lahan.
Dari sektor pertanian, pola curah hujan dan suhu bisa menyebabkan gagal panen dan kelangkaan pangan. Situasi yang demikian dapat mengancam kondisi ketahanan pangan lokal maupun secara global.
BACA JUGA:El Nino 2023 Telah Diramal Jayabaya? Benarkah 'Akeh Udan Salahmongso' Terjadi
Selain itu, ekosistem di laut bisa terdampak El Nino. Pemutihan karang merebut terumbu karang, ditambah pergeseran distribusi dan kelimpahan ikan.
Dari sisi kesehatan, perubahan kondisi iklim mengakibatkan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk, banjir dan penyakit yang ditularkan lewat air, masalah gizi, hingga dampak mental akibat ketidakpastian ekonomi dan ketegangan sosial.
Fenomena El Nino di Indonesia sendiri sebenarnya bukan pertama kali, kita pernah mengalaminya di antaranya tahun 1962, 1963, 1972, 1973, 1982, 1983, 1997, 1998, 2015 dan 2016.