SUMEKS.CO - Pewarna Karmin yang berasal dari kutu daun kaktus, saat ini jadi sorotan publik hingga menimbulkan perdebatan publik, terutama mengenai halal dan haram untuk dikonsumsi.
Ternyata, faktanya penggunaan Karmin yang dalam bahasa ilmiahnya di namakan Cochineal ini telah lama digunakan sebagai salah satu bahan pewarna dalam produk makanan dan minuman.
Dalam unggahan video akun media sosial @Alopoda, mengungkapkan bahwa penggunaan pewarna Karmin pada makanan atau minuman sejak abad ke 15 tepatnya tahun 1500-an.
Dijelaskan, penggunaan pewarna Karmin yang berasal dari kutu daun kaktus yang biasa hidup di gurung pasir tersebut sejak zaman suku Aztec.
Pewarna Karmin atau Cochineal umumnya banyak ditemukan hidup menempel di kaktus pir berduri, di Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Diterangkan dalam unggahan video, dibutuhkan lebih kurang 150.000 hewan kutu daun kaktus atau Cochineal untuk menghasilkan 1 kg pewarna Karmin.
Dalam narasinya, walaupun pewarna alami Karmin terbuat dari kutu daun kaktus, tidak perlu takut atau khawatir dengan produk yang mengandung pewarna Karmin.
"Karena, pewarna Karmin adalah pewarna alami yang sudah terbukti aman untuk dikonsumsi dan tidak mengganggu kesehatan," kata narasi akun media sosial@Alopoda.
Masih dikatakan narator, pewarna alami Karmin masih lebih baik dibandingkan dengan pewarna sintetis yang lebih beresiko pada kesehatan.
Dibeeitakann sebelumnya, kabar mengenai boleh atau tidaknya mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung pewarna Karmin atau Cochineal, yang mengemuka beberapa hari belakang.
Pasalnya, dari satu sisi Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Provinsi Jawa Timur menyatakan zat pewarna makanan khususnya Karmin dinyatakan haram untuk dikonsumsi.
Dari informasinya, LBMNU menyatakan haram karena pewarnaan merah yang berasal dari Karmin atau Cochineal adalah serangga atau kutu daun yang tidak layak dikonsumsi.
BACA JUGA:Buya Yahya Berikan Pesan Menyentuh Terkait Silang Pendapat MUI vs PWNU Jatim Terkait Pewarna Karmin