PALEMBANG, SUMEKS.CO - Pada momen perayaan HUT RI di Kota Palembang, biasanya digelar lomba perahu bidar dan perahu hias di Sungai Musi.
Pada momen lomba bidar tersebut, masyarakat banyak berdatangan dari berbagai daerah di Palembang untuk menyaksikan keseruannya.
Namun, Festival atau lomba perahu bidar dan perahu hias tidak sembarang hanya sebatas seremonial saja. Melainkan ada asal usulnya.
Lomba perahu bidar bermula dari lomba bidar antara dua pangeran Palembang dan seorang pemuda dari uluan, memperebutan gadis bernama Dayang Merindu.
BACA JUGA:Perahu Bidar PT Pusri Melenggang ke Semifinal
Peserta lomba perahu bidar sedang berlomba mencapai finis.--dok : sumeks.co
Namun, tragisnya, kedua pemuda tersebut tewas karena kelelahan, sementara Dayang Merindu bunuh diri karena kesedihan.
"Ada sebuah legenda rakyat dari zaman dulu yang menceritakan tentang Dayang Rindu atau Dayang Merindu. Dua ksatria atau laki-laki ingin menikahi Dayang Rindu, tapi karena dia suka pada keduanya dan tidak bisa memilih, Dayang Rindu memutuskan untuk mengadakan perlombaan dayung perahu," ungkap sejarahwan Sumsel, Kemas AR Panji.
Sayangnya, keduanya pemuda kesatria tersebut sama-sama kelelahan dan tidak ada yang menang lomba bidar.
BACA JUGA:Lawang Borotan, Pintu Keluar Sultan Mahmud Badaruddin II Saat Hendak Diasingkan ke Ternate
Kemas Ari menjelaskan, bidar adalah sebutan untuk perahu, dengan rata-rata panjang 25 hingga 30 meter, yang didayung oleh lebih dari 20 orang.
"Perahu bidar telah menjadi bagian dari budaya Kota Palembang sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang. Dahulu disebut perahu Pencalang, digunakan untuk transportasi pada masa kerajaan, dan memiliki atap untuk raja," jelasnya.
Kemas Ari menuturkan, perlombaan perahu bidar telah mengalami perubahan, nama dari lomban, kenceran, hingga saat ini menjadi bidar.
"Sejak zaman kolonial, Belanda memberi instruksi bahwa penyelenggaraan lomba bidar setiap tahun untuk merayakan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina, yang jatuh pada tanggal 31 Agustus," tuturnya.
BACA JUGA:Konon, Banyaknya Biji Emas Di Sungai Musi Jadi Asal Usul Nama Kota Palembang
Kendati demikian, Kemas AR Panji menegaskan bahwa perlombaan bidar sudah ada sejak zaman dulu dan bukan diciptakan oleh Belanda.
Meski momennya berubah setelah kemerdekaan, tradisi perlombaan perahu bidar tetap berlanjut dan menjadi pesta rakyat setiap tahunnya.
Namun, dalam perkembangan zaman dan dampak pandemi Covid-19, perlombaan perahu bidar mengalami penurunan setiap tahunnya.
Jumlah perahu bidar semakin berkurang, dan perlombaan tersebut mengalami vakum selama tiga tahun terakhir akibat Covid-19.
BACA JUGA:Cobain Spot Foto Terbaru di Palembang, View Sungai Musi dan Jembatan Ampera Sejajar
Kemas AR Panji menyatakan bahwa perawatan perahu bidar ini tidak murah, dan jika tidak diurus, kerusakannya bisa parah sehingga perahu tidak layak pakai.
"Keberadaan perahu bidar sangat memerlukan perhatian dari pemerintah setempat agar kelestariannya tetap terjaga dan menjadi sarana untuk menciptakan atlet dayung yang bisa berlaga di tingkat nasional maupun internasional," tukasnya.
Diketahui menurut bernagai sumber, ukuran perahu bidar yang biasa digunakan dalam perlombaan perayaan HUT RI di Sungai Musi Palembang biasanya panjang 29 Meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi 0,8 Meter.
Dokumentasi sejarah menunjukkan bahwa perlombaan perahu bidar telah diadakan sekitar tahun 1898, dalam perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina.
Ada juga cerita yang menyebutkan bahwa peserta lomba dulu menganggap Prasasti Kedukan Bukit sebagai batu keramat.
Sementara itu, Budayawan Sumsel Vebri Al Lintani mengatakan sayangnya lomba bidar kini semakin sepi, karena pesertanya bukan lagi dari masyarakat, melainkan dari perusahaan besar di Palembang.
Kurangnya perhatian dan pembinaan dari pemerintah juga turut melemahkan kualitas perlombaan.
Vebri menyesalkan festival perahu bidar dalam memperingati HUT RI setiap bulan Agustus, semakin pudar.
BACA JUGA:Setiap Orang di Kota Palembang Mengonsumsi Ikan Sebanyak 54 Kg Per Tahun
Lomba perahu bidar --dok : sumeks.co
"Festival ini telah kehilangan eksistensinya di masyarakat karena tidak melibatkan mereka secara khusus," kata Febri.
Kendati itu Vebri menyebutkan lomba bidar atau kenceran seperti yang dikenal secara lokal, menjadi tradisi untuk memperingati hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus di Republik Indonesia.
Pada tahun 90-an ke bawah, perlombaan ini sangat menarik perhatian masyarakat yang berduyun-duyun menyaksikannya di tepian Sungai Musi, depan Benteng Kuto Besak.
Vebri menyayangkan bahwa tradisi ini semakin terabaikan karena faktor kurangnya perhatian dan pembinaan dari pemerintah.
"Namun, saat ini penyelenggaraan perahu bidar lebih banyak disponsori perusahaan sehingga kurang mempengaruhi minat masyarakat untuk terlibat dan menontonnya," tukasnya.(*)