Tantangan dan Harapan Baru Lewat Teknologi EEG Portabe, Epilepsi Bukan Kutukan

Pemeriksaan dan diagnosis Epilepsi harus ditunjang dengan Mesin EEG.-foto: dok-
BACA JUGA:Manis di Lidah, Panik di Dada: Kopi Susu Kekinian Ternyata Bisa Picu Anxiety Gen Z!
Akibatnya, banyak penderita epilepsi yang tidak tertangani secara optimal dan justru mengalami stigma sosial atau mendapat pengobatan tradisional yang tidak tepat.
"Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk kualitas hidup mereka dan meningkatkan risiko komplikasi,” kata dokter Siti.
Di sisi lain, menurut dokter Siti terdapat keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan neurologis, terutama di daerah-daerah terpencil.
“Fasilitas seperti elektroensefalografi (EEG) sebagai alat utama dalam mendiagnosis epilepsi masih sangat terbatas dan umumnya hanya tersedia di rumah sakit tipe A atau B, dan sebagian tipe C” ujarnya.
BACA JUGA:Mengenal 7 Gejala Skizofrenia yang Diduga Diidap Rifin Dengdeng, ODGJ Ikonik Asal Palembang
“Selain itu, jumlah dokter spesialis saraf (neurolog) juga masih minim dan penyebarannya tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.”
Kolaborasi adalah Kata Kunci
Menanggapi tantangan diagnosis epilepsi, dokter Siti mengatakan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah seperti membangun lebih banyak fasilitas kesehatan dan pengadaan alat EEG.
Namun keterbatasan jumlah dokter saraf masih menjadi hambatan utama.
BACA JUGA:Diet IF: Pola Makan Jam-Jaman yang sedang Hype dan Dicintai Gen Z
BACA JUGA:Skip Dulu Nasi: Diet Low Carb Gen Z yang Bikin Badan Auto Ramping
“Karena untuk membaca hasil EEG, tetap dibutuhkan dokter spesialis,” ujarnya.
Akan tetapi, seiring perkembangan teknologi, hambatan ini mulai terjawab.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: