Beda Pendapat, MUI Beri Fatwa Halal Soal Pewarna Karmin Serangga, LBM NU Jawa Timur: Najis dan Menjijikkan!

Beda Pendapat, MUI Beri Fatwa Halal Soal Pewarna Karmin Serangga, LBM NU Jawa Timur: Najis dan Menjijikkan!

Silang pendapat mengenai fatwa pewarna alami Karmin yang berasal dari serangga cochineal antara MUI dengan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur.--

SUMEKS.CO - Waduh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, silang pendapat mengenai fatwa pewarna alami Karmin yang berasal dari serangga cochineal.

Pewarna alami Karmin biasanya digunakan untuk berbagai jenis makanan dan minuman. Kendati demikian, saat ini publik dibuat bingung terkait penggunaan pewarna alami Karmin.

Pasalnya, MUI dan LBM NU Jawa Timur berselisih mengenai hukum menggunakan pewarna alami Karmin, yang biasa digunakan sebagai bahan membuat minuman dan makanan.

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 disebutkan, pewarna makanan dan minuman yang berasal dari cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

BACA JUGA:WOW! Wanita Seperti Ini Haram Dinikahi, Tapi Boleh Dijima' Sepuasnya, Berikut Penjelasan dalam Syariat Islam

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menilai, pewarna alami Karmin ini berasal dari serangga yang hidupnya diatas kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor.

"Hewan ini mempunyai banyak persamaan dengan belalang, termasuk darahnya yang tidak mengalir," terang Kiai Niam.

Sementara, mengenai LBM NU Jawa Timur yang menyatakan pewarna alami Karmin najis dan menjijikkan, Kiai Niam mengatakan tetap menghargai pembahasan dan juga hasil keputusan LBM NU Jawa Timur.

Kiai Niam menilai, keputusan LBM NU Jawa Timur yang memfatwakan tentang pewarna alami Karmin tersebut, merupakan proses Ijtihad yang perlu dihormati.

BACA JUGA:Begitu Pentingnya Salat dalam Islam, Penjelasan Ustad Das'ad Latif Bikin Budayawan Sujiwo Tertegun

"Pada hakikatnya MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan, khususnya masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fiqiah," ujar Kiai Niam. 

Kiai Niam menjelaskan, fatwa MUI dan LBM NU berbeda lantaran adanya sudut pandang dari Tashawwur masalah.

Mengingat, MUI menggunakan pendekatan Tahqiqul Manath dengan memeriksa detail jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna. Sedangkan, LBM NU menilai hukum serangga secara umum.

"Sebelum menetapkan fatwa tentang pewarna alami Karmin ini, kami mengundang ahli entomologi dari Departemen Proteksi Tanaman dan ahli bioinsektisida," beber Kiai Niam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: