Namun, tidak semua kepala desa menyetujui kebijakan tersebut. Beberapa menolak karena menilai program itu tidak sesuai kebutuhan dan dilakukan secara sepihak.
Dalam fakta persidangan juga terungkap bahwa setiap desa diwajibkan membeli APAR dari pihak terdakwa dengan harga Rp8,8 juta per unit, sesuai dengan RAB yang ditetapkan.
Padahal, harga pasaran APAR serupa hanya sekitar Rp3,5 juta per unit. Praktik monopoli ini menimbulkan keberatan dari sejumlah kepala desa, di antaranya Kepala Desa Kota Gading, Tanjung Kupang Baru, Sugi Waras, dan Kemang Manis, yang memilih membeli APAR secara mandiri.
Menariknya, meski Aprizal disebut sebagai pengendali proyek, beberapa saksi menyatakan tidak mengetahui apakah yang bersangkutan memiliki toko APAR atau hanya bertindak sebagai pengatur proyek.
Dalam surat dakwaan, jaksa penuntut umum (JPU) menyebut bahwa terdakwa Aprizal diduga kuat telah mengondisikan pengadaan APAR agar masuk ke dalam APBDes seluruh desa tanpa melalui mekanisme Musdes.
Selain itu, ditemukan adanya praktik mark-up harga serta laporan pertanggungjawaban (LPJ) fiktif yang menyebabkan kerugian keuangan negara cukup besar.
Jaksa juga mengungkap, sebagian besar anggaran tidak digunakan untuk membeli APAR sesuai peruntukan, melainkan dialihkan ke pengadaan selang pompa pemadam.
Perbuatan terdakwa dinilai telah menyelewengkan dana desa yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Atas perbuatannya, Aprizal dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), serta Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi lainnya, sebelum jaksa menghadirkan ahli untuk memperkuat dakwaan terkait praktik monopoli dan penyimpangan dana desa dalam pengadaan APAR Empat Lawang tersebut.