BACA JUGA:Mengenang Kegigihan SMB III, Adat Budaya Palembang Darussalam Dapat Diselamatkan
BACA JUGA:Gemes, Lihat Ekspresi Anak PAUD di Karnaval Budaya Palembang
“Foto-foto yang dipajang di pameran merupakan kurasi pendek dari ratusan foto yang akan diterbitkan dalam sebuah buku “Badah Puyang” yang sedang dalam proses cetak,” kata Ahmad Rizki Prabu, salah satu fotografer buku tersebut.
Badah Puyang yang diartikan sebagai rumah atau tempat Puyang, merupakan kolaborasi antara Ahmad Rizki Prabu dan Bagus Kurniawan sebagai fotografer, dan Yuni Rahmawati sebagai penulis.
Keduanya berupaya merekam denyut kehidupan masyarakat Semende yang masih memegang teguh adat istiadat Tunggu Tubang, terutama dalam kaitannya dengan relasi manusia, tanah, air dan ketahanan pangan.
“Lewat Badah Puyang, saya ingin menceritakan bagaimana sistem adat Tunggu Tubang bisa berjalan sampai hari ini. Sebuah sistem adat yang sangat luar biasa dalam menciptakan ketahanan pangan yang saat ini menjadi perbincangan dunia," kata Ahmad Rizki Prabu.
Di dalamnya buku itu, Ahmad Rizki Prabu menjelaskan, ada serangkaian gambar, dari mulai ritual adat, rumah tradisional, hingga alam yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Semende.
"Setiap foto adalah saksi keberlanjutan tradisi yang masih ada hingga hari ini,” ungkap Ahmad Rizki Prabu.
BACA JUGA:Kini Belajar Sejarah dan Budaya Palembang Bisa Diatas Kereta LRT
BACA JUGA:Rentak Melayu Kenalkan Budaya Palembang
Sementara, Penulis Narasi, Yuni Rahmawati menambahkan, buku ini sangat menarik karena bukan hanya kumpulan foto dan cerita tanpa makna, melainkan punya sisi yang mendalam.
“Ada narasi tentang identitas dan ruang hidup masyarakat Semende. Kami ingin generasi muda melihat bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan penopang masa depan.”
Penerbitan buku dan film ini juga didukung oleh riset bersama Dian Maulina. Ia mengatakan, pemilihan perempuan dalam sistem adat Tunggu Tubang bukan hal yang kebetulan.
Peran perempuan dalam adat dan budaya memiliki kaitan erat dengan keberlangsungan nilai, pengetahuan, dan praktik sosial masyarakat.
“Tidak hanya di lingkup domestik, perempuan juga berperan sebagai penjaga tradisi dan budaya di Semende,” katanya.