“Royalti bukan pajak, negara tidak mendapatkan apa-apa secara langsung dari royalti. Semua pungutan royalti itu disalurkan kepada yang berhak. Dan yang menyalurkan bukan pemerintah, tetapi oleh LMK atau LMKN yang memungut royalti, salah satunya LMK SELMI,” tambah Supratman.
BACA JUGA:Kemenkum Babel Fasilitasi Rapat Harmonisasi 5 Ranperkada Kabupaten Bangka Barat
Sebagai gambaran, Menkum Supratman membandingkan kondisi pengumpulan royalti di Indonesia dengan Malaysia.
Ia mengungkapkan bahwa jumlah royalti yang berhasil dikumpulkan di Indonesia masih terbilang rendah meskipun jumlah penduduk Indonesia lebih besar daripada Malaysia.
LMK dan LMKN di Indonesia tercatat mengumpulkan royalti sebesar Rp270 miliar, sementara Malaysia mampu mengumpulkan hingga Rp600-700 miliar per tahun.
“Bayangkan, Malaysia, negara yang kecil, penduduknya tidak seberapa, total royalti yang mereka bisa kumpulkan hari ini kurang lebih 600-700 miliar per tahun. Kita Indonesia, mulai dari platform internasional, sampai kepada retail, kalau menurut laporan yang saya terima kita baru ngumpulin 270 miliar, padahal penduduk kita 280 juta. Jadi sangat kecil,” ungkapnya.
BACA JUGA:Kemenkum Babel Fasilitasi Rapat Harmonisasi 5 Ranperkada Kabupaten Bangka Barat
Sengketa ini bermula ketika Direktur PT Mitra Bali Sukses (MBS) dijadikan tersangka atas dugaan pelanggaran hak cipta setelah LMK SELMI melaporkan adanya pelanggaran hak cipta terkait penggunaan musik tanpa izin.
Pihak Kementerian Hukum dan HAM melalui Kantor Wilayah Kemenkum Bali kemudian melakukan mediasi untuk mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak.
Dengan adanya perjanjian damai ini, diharapkan sengketa hak cipta ini dapat menjadi pelajaran penting dalam menjaga dan menghormati hak kekayaan intelektual di Indonesia, sekaligus memajukan industri musik di tanah air.