“Kami bukan menuntut ganti rugi atau jual-beli. Tapi pembangunan harus ada syiar Islamnya. Pulau Kemaro itu warisan ulama besar dan kami siap mewakafkan untuk kepentingan umat,” tegas Memet.
Ia menambahkan, pengelolaan lahan bisa melibatkan Pemkot Palembang, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai nazir atau pengelola wakaf.
BACA JUGA:Silaturahmi ke Kejati Sumsel, Wakil Wali Kota Prima Salam Prihatin atas Mangkraknya Pasar Cinde
BACA JUGA:Wawako Prima Salam Dorong Peran Ekonomi Kreatif, Berdayakan UMKM Palembang di Momen Idul Adha 2025
Memet menjelaskan, Pulau Kemaro seluas 87 hektare itu secara historis dan legal merupakan milik Ki Marogan, dibuktikan dengan putusan Mahkamah Agung tahun 1987.
Lantas ada putusan Pengadilan Negeri Palembang, serta dokumen tanah tahun 1881 yang masih tersimpan dalam bahasa Arab dan sudah diterjemahkan secara resmi.
Zuriat Ki Marogan ini menyesalkan Pulau Kemaro selama ini lebih dikenal dengan kelentengnya.
''Padahal sejarah Islam-nya sangat kuat. Kami hanya ingin pengakuan dan pengelolaan bersama. Bila tuntutan tidak ditanggapi, kami siap tempuh jalur hukum,” tegasnya.