Menurut Acemoglu, produktivitas memang meningkat karena AI, namun keuntungan tersebut tidak merata. Justru, AI dapat mempercepat konsentrasi kekayaan dan kekuasaan pada kelompok tertentu, jika tidak diimbangi dengan regulasi yang ketat.
“Mereka mengajak dunia untuk memikirkan kembali: apakah teknologi yang kita buat membuat manusia lebih sadar dan merdeka, atau justru lebih mudah dikendalikan melalui layar yang tampak indah tapi sarat dengan rekayasa?”
Para peraih Nobel ini, meskipun datang dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, sepakat dalam satu hal: kecerdasan buatan tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa arahan etis, hukum yang jelas, dan pengawasan global yang terkoordinasi. Mereka menyerukan pembentukan standar internasional dan kolaborasi lintas negara untuk memastikan AI berkembang sebagai alat bagi kemajuan umat manusia, bukan sebagai ancaman bagi masa depan umat itu sendiri.
Dengan berbagai peringatan ini, menjadi jelas bahwa diskusi mengenai AI tidak bisa lagi hanya dibatasi pada kalangan ilmuwan atau teknokrat. Ini adalah percakapan global yang menyangkut semua aspek kehidupan: pekerjaan, kebebasan, keadilan, dan masa depan peradaban. Dunia harus bertindak sekarang, sebelum teknologi melaju lebih cepat dari kemampuan kita untuk mengendalikannya.
Kesadaran akan potensi bahaya kecerdasan buatan sebenarnya bukan hal baru. Namun, pernyataan terbuka dari para tokoh yang justru menjadi pionir dalam teknologi ini memberi bobot yang berbeda. Ini bukan lagi sekadar spekulasi akademik, melainkan bentuk tanggung jawab moral dari mereka yang memahami sistem ini dari dalam.
Geoffrey Hinton, yang sebelumnya mendukung pengembangan AI tanpa banyak keberatan, kini memilih mundur dari posisinya di Google demi bisa berbicara bebas mengenai risikonya. Ia menegaskan bahwa dunia sudah memasuki fase di mana sistem AI tidak hanya meniru cara berpikir manusia, tetapi berpotensi menyusun strategi sendiri, sesuatu yang dapat mengarah ke hasil yang tidak terduga, bahkan berbahaya.
Tak hanya menyangkut masalah kontrol dan etika, para peraih Nobel ini juga menyoroti persoalan transparansi dan akuntabilitas. Banyak sistem AI yang digunakan saat ini dari algoritma media sosial hingga sistem prediksi dalam penegakan hukum beroperasi secara tertutup dan sulit diaudit.
Hal ini memperbesar potensi penyalahgunaan dan diskriminasi sistematis yang sulit dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam konteks ini, Daron Acemoglu menegaskan pentingnya keterlibatan pemerintah dan masyarakat sipil dalam pengawasan penggunaan teknologi, agar manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh segelintir elit digital.
Sementara itu, Demis Hassabis menekankan bahwa bukan AI itu sendiri yang berbahaya, melainkan cara manusia menggunakannya. Dalam banyak bidang seperti biologi molekuler, pengobatan, dan riset iklim, AI telah membuka terobosan yang luar biasa. “Sistem AlphaFold” yang dikembangkan timnya, misalnya, berhasil memprediksi struktur ribuan protein penting bagi kehidupan, yang sebelumnya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dipahami. Namun, ia juga mengingatkan bahwa jika tidak dilengkapi kerangka nilai yang kuat, kemajuan ini bisa berbalik menjadi alat dominasi atau bahkan senjata.
Pernyataan bersama para peraih Nobel ini sekaligus menjadi panggilan untuk pembentukan forum global setara dengan Konvensi Jenewa yang khusus menangani tata kelola dan etika kecerdasan buatan. Mereka menilai bahwa selama ini, negara-negara terlalu sibuk berlomba-lomba menciptakan AI yang lebih cepat dan lebih kuat, tanpa memikirkan dampak sosial dan risiko keamanan jangka panjang. Jika perlombaan ini terus berlangsung tanpa pengawasan, maka dunia dapat menghadapi “krisis AI” yang sejajar dengan krisis iklim atau bahkan konflik berskala besar.
Seiring dengan peringatan keras dari para peraih Nobel mengenai ancaman kecerdasan buatan, dunia kini juga menyaksikan lonjakan besar dalam kemampuan AI untuk menghasilkan konten visual secara otomatis. Teknologi seperti Google Veo 3, yang diperkenalkan sebagai generasi baru AI pembuat video berbasis teks, menunjukkan betapa cepatnya AI berkembang dari hanya memahami bahasa menjadi mampu menciptakan realitas visual yang hampir tak bisa dibedakan dari kenyataan. Dengan hanya memasukkan prompt berbasis teks misalnya, "seorang pemuda berjalan di tengah badai pasir di Sahara saat matahari terbenam", Google Veo dapat menghasilkan video sinematik penuh dalam hitungan detik.
Inovasi ini membuka peluang luar biasa dalam dunia kreatif, edukasi, dan hiburan. Namun, di balik kecanggihan tersebut, juga muncul pertanyaan besar: siapa yang mengontrol narasi?, bagaimana jika konten disalahgunakan?, dan apakah masyarakat siap membedakan antara yang nyata dan hasil manipulasi digital? Inilah titik di mana kekhawatiran para peraih Nobel menjadi sangat relevan.