Ia berasal dari keluarga sederhana yang harus berjuang keras demi pendidikan dan masa depan yang lebih baik.
BACA JUGA: Peringatan Hari Bakti Pekerjaan Umum Ke-79, Sekda Sumsel Apresiasi Pencapaian Infrastruktur Nasional
"Buat jadi buruh di Jepang karena tentu, ekonomi keluarga. Orang tua mama itu kan bukan pejabat atau yang punya gelimang harta, atau punya privilege buat kita bisa hidup enak di Indonesia, katanya.
Perjuangan orang tuanya untuk memberikan pendidikan terbaik tidaklah mudah. Mereka harus bekerja keras agar ia dan adik-adiknya bisa berkuliah di UGM, meskipun kampus tersebut merupakan universitas negeri.
"Buat nyekolahin mama di UGM, buat nyekolahin adik-adik mama kuliah di UGM pun susah payah. Padahal udah universitas negeri," tambahnya.
Setelah lulus, ia menyadari bahwa mendapatkan pekerjaan layak di Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang baik.
BACA JUGA:Update Penyidikan Korupsi Pekerjaan Retrofit PLTU Bukit Asam pada PT PLN UIK Sumbagsel 2017-2022
BACA JUGA:Asus Zenfone 10, Smartphone Berukuran Kecil Tapi Mampu Lakukan Pekerjaan Besar
Persaingan di dunia kerja semakin ketat, membuatnya harus menerima kenyataan bahwa gelar tinggi saja tidak menjamin masa depan.
"Mama harus lebih semangat, harus lebih berusaha. Nggak bisa mikirin masalah gengsi atau masalah lulusan UGM," ujarnya tegas.
Baginya, mencapai kestabilan finansial di usia muda bukanlah hal yang mudah jika hanya mengandalkan pekerjaan di Indonesia.
Ia ingin memiliki rumah sendiri dan tabungan yang cukup, namun dengan penghasilan yang ada, target tersebut terasa sulit dicapai.
"Mama bakal lama buat bisa nyampai tujuan mama. Yaitu misalnya punya rumah sendiri, punya tabungan di usia muda yang banyak. Sebulan nabung 2 juta. Terus bisa beli rumahnya kapan?" keluhnya.