Belakangan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menjadi pusat perhatian publik terkait dengan kebijakan pemberian IUPK kepada organisasi masyarakat keagamaan, atau yang biasa disebut ormas keagamaan. Hal ini terjadi karena Bahlil mengeluarkan beberapa pernyataan yang menuai kontroversi.
Salah satu pernyataan yang cukup menarik perhatian adalah, pengakuannya bahwa pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan didasari oleh fakta bahwa ibunya merupakan kader dari organisasi tersebut.
Bahlil memiliki alasan tersendiri mengapa dia memutuskan untuk memberikan IUPK kepada ormas keagamaan, khususnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Dia mengungkapkan bahwa keputusan tersebut dipengaruhi oleh hubungan personalnya, di mana ibunya adalah seorang kader aktif NU.
BACA JUGA:4 Korban Jembatan Lalan Muba yang Roboh Dihantam Tongkang Batu Bara Ditemukan, 1 Selamat
Secara implisit, Bahlil mengindikasikan bahwa kebijakan ini adalah bentuk penghormatan atau balas budi kepada ibunya, yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan dan nilai-nilai yang dia pegang.
“Ibu saya ini NU. Jangan anaknya sudah jadi menteri investasi, selesai kita jadi menteri, gak ada apa yang kita kasih kan,” kata Bahlil
Bukan untuk pertama kalinya, Bahlil Lahadalia menyampaikan hal yang sama. Diketahui juga sebelumnya, dalam sebuah kuliah umum yang diadakan di Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (NU) pada Jumat, 31 Mei 2024 silam ia juga mengungkapkan pandangan serupa.
Pada kesempatan tersebut, Bahlil menegaskan kebanggaannya terhadap Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di dunia, dengan menyatakan bahwa ia lahir dari rahim seorang ibu yang merupakan kader aktif dari ormas tersebut.
BACA JUGA:Satu Tersangka Korupsi Izin Usaha Pertambangan Batu Bara di Lahat Pernah Jadi Anggota Senayan?
"Saya lahir dari kandungan seorang Ibu yang kader NU. Karena itu tidak lama lagi saya teken IUP," kata Bahlil.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Hukum dan HAM, Ikhsan Abdullah, mengatakan pemberian izin tambang ormas oleh pemerintah memberi kesempatan kepada ormas agar mengelola sumber daya alam dengan baik.
Selama ini (organisasi keagamaan), kata Ikhsan saat itu hanya sebatas menerima keluhan umat dan menjadi penonton ketika kekayaan alam dieksploitasi, bahkan sampai menimbulkan kerusakan lingkungan.