Sultan Agung kemudian mencurigai bahwa keponakannya itu memiliki pengikut berjumlah 2000 orang untuk melakukan perlawanan.
Tapi kemudian meski Pangeran Jayawikrama telah setia kepada sang kakak, namun dia merasa bahwa dirinya kurang dihargai. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berkoalisi dengan Sultan agung dengan menikahi putrinya yang telah bercarai.
Namun perlu diketahui, bahwa kemampuan Anum dalam memelihara sejumlah besar pasukan bersenjata, adalah berkat kepiawaiannya dalam memonopoli beras murah.
BACA JUGA:Ini Rangkaian Prosesi Unik, Pernikahan Pangeran Mateen Berbalut Adat Kerajaan Brunei
Singkat cerita, akhirnya berbagai kapal di bawah pengawas Pangeran Anum yang juga membawa senjata dan bubuk mesiu bergerak untuk meningkatkan serangan kepada kapal-kapal Sultan Agung.
Tapi hasilnya tetaplah dipegang oleh Belanda. Meski sempat bimbang untuk memilih diantara kedua penguasa Palembang, tetapi kepentingan Belanda sendirilah yang akhirnya menjadi penentu.
Belanda kemudian lebih memihak kepada Sultan Agung dan Pangeran Jayawikrama yang tampaknya lebih bersedia dalam mengakomodasi tujuan niaga kompeni dibandingkan Pangeran Anum.
Sultan Agung dan Pangeran Jayawikrama tampaknya sudah menang, hingga pada 15 Maret 1724 ketika Sultan Agung meninggal dunia, lima hari berselang penguasa baru dilantik.
BACA JUGA:Bukti Terkuat Tentang Adanya Kerajaan Sriwijaya yang Berlokasi di Kota Palembang
Para bangsawan sepakat untuk memilih Pangeran Jayawikrama sebagai raja baru, dan melantiknya dengan nama gelar Sultan Muhammad Badaruddin.
Pelantikan itu diselanggarakan di hadapan orang-orang Palembang baik berstatus tinggi maupun rendah, dan tokoh pedalaman.