Meski dalam kondisi bergerilya serta pelariannya, Syekh Yusuf bahkan tetap produktif dalam berkarya.
Kitab yang menjadi karyanya selama masa gerilya ialah kitab Syurut al-Arif al-Muhaqqiq yang menjadi karya tulisnya.
Namun pada tahun 1683, perjuangan Syekh Yusuf terhenti sebab putrinya ditawan VOC sehingga beliau menyerahkan diri.
Penyerahan diri Syekh Yusuf ini segera ditindak lanjuti oleh VOC dengan mengasingkannya ke Ceylon, Sri Lanka.
Hal ini dikarenakan VOC khawatir dan takut atas semangat Syekh Yusuf yang membangkitkan semangat para pejuang Nusantara.
Padahal Syekh Yusuf berbeda dengan ulama lain yang sering menulis mengenai jihad, beliau lebih banyak berfokus pada penyucian jiwa.
Rupanya, tindakan pengasingan ini tidak menyurutkan semangat Syekh Yusuf Al-Makassari dalam berkarya.
Setidaknya sebanyak 8 kitab yang telah ditulis oleh Syekh Yusuf dalam momen pengasingan tersebut, salah satunya ialah kitab Safinatun Najah.
Keberadaan Syekh Yusuf disana dilirik oleh penguasa Moghul, Aurangzeb yang pada saat itu meminta kepada VOC agar lebih memperhatikan kesejahteraan Syekh Yusuf.
Cahaya dakwah Syekh Yusuf terus bersinar dan menarik jama’ah haji Melayu singgah di Sri Lanka untuk transit.
Kepada para jama’ah haji ini, Syekh Yusuf menitipkan karyanya yang berjudul Risalat al-Ghayah yang kelak akan membangkitkan semangat pada pejuang Nusantara.
BACA JUGA:Ciri Presiden 2024 Versi Ramalan Ronggowarsito, Ternyata Ini Sosok Pemimpin Indonesia Selanjutnya?
Mendengar hal ini, VOC bergegas mengambil langkah dengan mengasingkan Syekh Yusuf ke tempat yang lebih jauh lagi yaitu Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Tanjung harapan menjadi tempat langganan untuk membuang orang-orang yang dianggap berbahaya bagi VOC.