Secara ekonomi, perikanan budidaya menjadi subsektor perikanan tumpuan peningkatan produksi perikanan.
Potensi budidaya perikanan di lahan rawa, antara lain:
1. Potensi lokasi di setiap sub ekosistem rawa seperti sungai utama dan anak sungainya termasuk kanal-kanal alami dan buatan, lebung, lebak kumpai dan daerah talang.
2. Potensi ikan sebagai kultivan atau komoditas budidaya yang secara ekologis memiliki keanekaragaman jenis dan kelimpahan yang tinggi, serta nilai ekonomis yang juga tinggi.
3. Potensi ketersediaan sarana dan prasaran produksi, antara lain bahan baku pakan lokal, kapur alternatif, pupuk organik dan hayati, filter air dan potensi miroba untuk probiotik.
Meskipun demikian, berdasarkan data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2021, produksi perikanan budidaya provinsi Sumatera Selatan juga hanya menempati urutan 13 dari 38 provinsi di Indonesia, atau hanya sekitar 1,87% dari total produksi perikanan nasional.
Berbagai persoalan pengembangan budidaya perikanan, terutama antara lain dari aspek:
1. Aspek sumberdaya air. Secara alami, kuantitas air rawa bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh pola banjiran atau pasang surut. Secara kualitas, adanya pengaruh dari berbagai kegiatan antropogenik, misalnya adanya kanal buangan limbah.
Karakter utama air rawa yang memiliki pH rendah (keasaman tinggi), bahan organik tinggi serta oksigen terlarut yang tinggi serta kajian kualitas air optimal untuk budidaya ikan rawa yang masih minim, menjadi kendala utama budidaya ikan rawa.
2. Ikan/kultivan/komoditas. Sebagian besar masih merupakan ikan liar dengan teknologi budidaya yang belum banyak dikaji sehingga informasi bioekologi, fisiologi maupun kajian mendasar lainnya yang masih minim.
Kajian pembenihan ikan rawa yang juga masih terbatas sehingga ketersediaan benih hasil pemijahan di hatchery atau panti benih menjadi sangat terbatas. Pembudidaya masih mengandalkan benih dari alam yang tentu saja secara kualitas akan bervariasi.
3. Pakan dan proses produksi. Persoalan utama di pembudidaya ikan rawa adalah pemanfaatan pakan oleh ikan yang belum efektif dan efisien.
Hal ini dibuktikan dengan nilai efisiensi pakan yang relative masih rendah, bahkan belum mencapai 50%. Artinya, meskipun ikan sudah dapat dibudidayakan tetapi ketergantungan pada pakan alaminya masih relative tinggi.
Di sisi lain, tinggi harga pakan komersial yang merupakan biaya produksi tertinggi (mencapai70% atau lebih), menjadikan masyarakat pembudidaya lebih cenderung untuk melakukan budidaya ikan dengan target sampai benih.
Pada fase larva sampai benih, ketergantungan pada pakan alami tidak didukung oleh pengetahuan dan penguasaan teknologi budidaya pakan alami oleh pembudidaya.
Selain pakan, pengetahuan dan penguasaan pembudidaya pada berbagai sarana produksi alternatif juga menyebabkan masyarakat cenderung menjadi “pembeli” meskipun mengakibatkan membengkaknya biaya produksi.