Namun, lanjut UAH bersalaman antara kedua insan itu haruslah "Tasofah" yang artinya sedang berlapang hatinya, tanpa ada dendam sedikitpun dari keduanya, dan itu bisa menggugurkan dosa keduanya.
Terkecuali, kata UAH bersalaman namun masih ada rasa kebencian diantara keduanya itu justru malah menambahkan dosa diantaranya.
Lebih lanjut dikatakan UAH, dalam hal bersalaman usai shalat karena berdasarkan Hadist Riwayat Tarmidzi, kalau bicara dalil itu boleh hanya persoalannya contoh tidak ada.
"Kaidah mengatakan kalau tidak ada contoh ya tidak ada maslaah yang penting ada dalilnya," kata UAH.
Namun, UAH menegaskan kalau kaidah mengatakan kalau dalil ditambah contoh bertemu dalil tanpa contoh, maka alangkah lebih baiknya dahulukan dalil dan contohnya dan akhiran dalil tanpa contoh.
Jadi, menurut UAH saat mengucapkan salam tahiyat terkahir dalam shalat lebih baik kita berdzikir terlebih dahulu, setelah selesai barulah bersalaman sesama jemaah.
"Hadistnya shahih, bahkan di hadistkan oleh Imam Bukhari, saat itu nabi Muhammad selesai shalat bersalaman dan dikejar oleh para jemaah dan sahabat-sabatnya," tutur UAH.
Sehingga, tidak ada masalah asalkan kita juga paham fiqih prioritas, maksudnya adalah memprioritaskan dahulu kewajiban dari pada Sunnah.
Lain lagi, kata UAH apabila ada seseorang yang berum faham tiba-tiba anda sedang berzikir dan orang tersebut mengucapkan salam kepada kita, maka prioritaskan dahulu menjawab salam orang tersebut.
"Setiap penghormatan seseorang, kaidahanya menjawab penghormatan itu wajib hukumnya didahulukan, diabndingkan meneruskan Sunnah yang dilakukan," urai UAH.
Menyampaikan salam kepada seseorang, kata UAH Sunnah hukumnya namun menjawab salam dari seseorang adalah wajib hukumnya. *