Pemain 32 tahun asal Brasil itu melihat polisi berupaya menghalau massa masuk ke ruang ganti pemain.
“Setelah kami masuk, kebiadaban mulai terjadi,” ungkapnya.
Ia menyebut, polisi saat itu sudah berusaha menahan massa tak gagal lantaran jumlah massa yang jauh lebih banyak.
“Mereka lalu menginjak dua orang polisi, yang akhirnya meninggal dunia. Kemudian terdengar suara letupan, kebiadaban lainnya pun terjadi,” beber Maringa.
BACA JUGA:10 Tahun Tak DIperbaiki Pemerintah, Warga Kurungan Nyawa II Swadaya Bangun Jembatan Permanen
Bersama pemain dan official Arema FC lainnya, Maringa terkurung di dalam ruang ganti selama 5-6 jam lamanya.
Mereka juga tidak mengetahui apa yang terjadi di luar.
“Hanya terdengar teriakan dan suara letupan. Kami ketakutan, karena merasa nyawa kami terancam.”
“Kami hanya bisa berpikir: ‘Mereka akan masuk ke sini (kamar ganti), dan membunuh semua orang yang ada di dalamnya,” tuturnya.
BACA JUGA:10 Tahun Tak DIperbaiki Pemerintah, Warga Kurungan Nyawa II Swadaya Bangun Jembatan Permanen
“Tiba-tiba beberapa orang membawa korban yang sudah sekarat karena menghirup asap gas air mata. Mereka meninggal di dalam ruang ganti.
“Ketika saya melihat itu, saya putus asa. Saya berkata: ‘Ya Tuhan, saya akan kehilangan nyawa saya dalam sekejap dari permainan sepakbola,” ceritanya.
Pemain dan official Arema FC pun baru bisa meninggalkan stadion Kajuruhan pada Minggu 2 Oktober 2022 sekitar pukul 04.00 WIB.
Saat itulah, ia baru bisa melihat tragedi yang terjadi di dalam dan luar lapangan.
BACA JUGA:10 Tahun Tak DIperbaiki Pemerintah, Warga Kurungan Nyawa II Swadaya Bangun Jembatan Permanen
“Saya tidak pernah melihat hal seperti ini, orang-orang terbunuh seperti binatang,” ujarnya.