Rusia Tuding Aktor Asing Bermain di Konflik Bersenjata Sudan
Pasukan RSF Sudan.--
Rusia Tuding Aktor Asing Bermain di Konflik Bersenjata Sudan
SUDAN, SUMEKS.CO - Rusia angkat bicara terhadap konflik bersenjata yang terjadi di Sudan dalam beberapa hari terakhir. Melalui wakil duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anna Yevstigneyeva mengatakan bahwa banyak aktor asing yang mencoba untuk mempercepat penanganan masalah terkait sengketa kekuasaan atas angkatan bersenjata di Sudan.
"Kita perlu menyadari bahwa krisis Sudan saat ini secara umum disebabkan oleh adanya upaya intervensi dari pihak asing yang mengganggu kedaulatan Sudan dengan mencoba melakukan rekayasa politik dan memaksakan nilai-nilai demokrasi mereka terhadap negara tersebut," kata Yevstigneyeva dalam sesi pengarahan Dewan Keamanan (DK) PBB tentang situasi di Sudan. Perombakan sektor keamanan di Sudan, menurut dia, "adalah salah satu masalah paling rumit yang memerlukan perhatian khusus dan proses negosiasi yang menyeluruh."
"Pada saat yang sama, kita melihat banyaknya aktor eksternal yang mencoba memaksakan penyerahan kekuasaan kepada sipil, dan memaksakan sejumlah keputusan yang pada dasarnya tidak didukung oleh sebagian besar rakyat di sana," kata diplomat Rusia itu.
Anna Yevstigneyeva juga menyinggung perihal perjanjian Sudan Political Framework Agreement yang disepakati pada 5 Desember 2022 yang diharapkan dapat menjadi fondasi bagi transisi pemerintahan dari militer ke sipil.
BACA JUGA:Sudan Tambah Mencekam, 37 Mahasiswa Asal Sumsel dalam Perjalanan Laut Menuju Jeddah
Dia menegaskan, terlepas dari adanya dukungan dari sejumlah negara, nyatanya kesepakatan tersebut gagal menjadi platform inklusif bagi berbagai angkatan bersenjata di Sudan.
"Format (perjanjian) itu mengabaikan sebagian penguasa politik di Sudan." "Pendekatan semacam ini hampir tidak dapat membantu penyelesaian masalah secara komprehensif," kata Yevstigneyeva.
Situasi di Sudan memanas berawal dari perbedaan pendapat antara Panglima Militer Sudan Abdel Fattah al-Burhan dan pemimpin paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF) Mohammed Hamdan Dagalo. Keduanya merupakan pasangan kepala dan wakil kepala Pemerintahan Transisi Sudan.
Akar permasalahan antara kedua pihak tidak lain berkaitan dengan garis waktu dan metode dalam pembentukan angkatan bersenjata tunggal di Sudan, juga terkait siapa yang akan menjadi panglimanya -- antara seorang pejabat militer seperti yang diusulkan al-Burhan, atau seorang presiden sipil seperti yang ditekankan oleh Dagalo.
Pada 15 April, bentrokan antara kedua belah pihak pecah di dekat sebuah pangkalan militer di Merowe dan ibu kota Khartoum, dan berlanjut pada Selasa 25 April 2023, terlepas dari sedang berlangsungnya masa gencatan senjata. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Sudan, sebanyak 600 jiwa telah melayang selama konflik berlangsung. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sebanyak 450 orang tewas, dan lebih dari 4.000 orang lainnya terluka akibat konflik tersebut. (dil/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: