Pilot, Mobil, dan Bensin Wow

 Pilot, Mobil, dan Bensin Wow

Berpose di depan Lombard Street di San Francisco.(happy wednesday/dbl.id)--

Tidak pernah ada perjalanan yang sempurna. Pasti ada saja kejadian, atau rangkaian kejadian, yang "menyebalkan" dan kemudian menjadi salah satu cerita utama perjalanan itu.

Bagi saya dan teman-teman yang baru kembali dari acara sepeda di Amerika, rangkaian kejadian penuh memori itu terjadi di kota Portland. Dan baru setelahnya kami sadar, kalau yang kami alami itu merupakan bagian dari "aftershock pandemi." Efek-efek sosial ekonomi yang terjadi gara-gara dua tahun terganggu oleh virus.

Sebelum cerita soal Portland, saya ingin menyampaikan dulu kebiasaan traveling saya di negeri Paman Sam, yang terus terang sudah menjadi "rumah kedua" karena dulu SMA dan kuliah di sana. Saya dan keluarga, atau bersama teman-teman, suka menjalani "road trip." Yaitu sewa mobil lalu nyetir sendiri ke mana-mana. Mampir atau menginap di hotel-hotel pinggir highway untuk istirahat.

Tahun ini, kami banyak menghabiskan waktu di kawasan midwestLanding di Houston, Texas, lalu road trip ke arah utara. Transit semalam di Oklahoma City sebelum finis di Kansas. Karena memang tujuan utama kami adalah ikut event balap gravel paling bergengsi di dunia, Unbound Gravel, yang berlangsung di Emporia, Kansas.

Tanda-tanda aftershock pandemi itu sebenarnya sudah muncul di Houston. Kami memesan dua mobil Chevrolet Suburban yang superbesar supaya bisa mengangkut delapan penumpang, enam sepeda, dan koper-koper. Ketika sampai, mobil yang dipesan ternyata tidak ada. Padahal perusahaan yang kami pakai termasuk yang paling bonafit.

Beberapa mobil kami coba, sebelum akhirnya menemukan kompromi menggunakan sebuah minivan (Dodge Grand Caravan) dan sebuah SUV besar (Ford Expedition Max). Komposisi penumpangnya tidak 4-4, melainkan 5-3 untuk memastikan semua sepeda dan koper terangkut. Tapi yang penting bisa berangkat.

Setelah itu, kami praktis lupa ada masalah. Karena segalanya berlangsung relatif mulus di Kansas. Termasuk kami semua menuntaskan misi, mencapai garis finis di kategori 200 mil dan 100 mil menggunakan sepeda Indonesia, apparel Indonesia, dan dukungan nutrisi Indonesia.

Semua rangkaian balapan, termasuk bersih-bersih dan mandi, berakhir Minggu dini hari (5 Juni) pukul 02.30. Kami tidur hingga pukul 08.00 dan setelah itu harus bersih-bersih lagi dan packing (sebagian sudah dicicil sebelum lomba). Karena sore itu kami sudah harus di bandara Kansas City, terbang ke pantai barat. Tepatnya ke Portland, negara bagian Oregon.

Kenapa ke Portland? Selama dekade terakhir ini termasuk kota favorit saya. Relatif tenang dan banyak toko atau produsen sepedanya. Layak disebut ibu kota sepeda Amerika. Kami ke sana tahun ini untuk mengunjungi teman di industri sepeda, sekaligus mengunjungi beberapa pembuat sepeda kondang.

Rencananya hanya dua malam di Portland, lalu road trip lagi ke arah selatan. Ke arah California, untuk benar-benar istirahat dan liburan 2-3 hari sebelum terbang balik ke Indonesia.

Masih dalam kondisi "teler" setelah ikut balap sepeda ratusan kilometer, Minggu malam itu kami memulai 48 jam "tantangan" di Portland.

Penerbangan kami tidak langsung ke Portland. Dari Kansas City transit dulu ke Dallas, Texas, lalu lanjut ke Portland. Pesawat ke Dallas, yang seharusnya takeoff pukul 19.30, ternyata harus mundur lebih dari satu jam. Ini membuat kami sedikit khawatir. Karena pesawat sambungannya dari Dallas ke Portland jadi terlalu mepet. Kami bisa ketinggalan pesawat. Atau, kami bisa naik pesawat tapi sepeda dan bagasi harus menyusul sehari kemudian.

Begitu landing di Dallas, kami pun berlari cepat ke arah gate pesawat ke Portland. Harus benar-benar cepat karena bandara Dallas begitu besar dan pesawat berikutnya harus dijangkau menggunakan kereta bandara. Kami tidak sendirian, banyak penumpang lain berlarian menuju pesawat lanjutan masing-masing. Karena semua mengejar pesawat terakhir malam itu.

Tapi ternyata, pesawat yang ke Portland pun molor. Positifnya, kami semua akan terbang ke Portland, dan tidak akan ada barang tertinggal. Plus kami sempat beli makanan di 7-Eleven (mini market) dekat gate, pas sebelum toko-toko tutup semua pukul 23.00.

Ketika kami akhirnya masuk pesawat, kami semua sudah ngantuk luar biasa. Hanya ingin tidur selama penerbangan tiga jam lebih itu. Sambil terkantuk-kantuk, saya sempat heran, kenapa kok pesawat tak kunjung bergerak. Kemudian, ada suara pilot. Saya tidak dengar pasti apa yang diomongkan karena sangat sleepy. Yang sempat terdengar jelas hanya "...Kami pun sepakat untuk menerbangkan Anda semua malam ini" disusul dengan tepukan tangan para penumpang.

Usut punya usut, ternyata kami merasakan salah satu krisis pasca pandemi. American Airlines, maskapai yang kami gunakan malam itu, termasuk yang sedang kesulitan memenuhi kebutuhan pilot. Selama pandemi, ada begitu banyak pilot diberhentikan. Ada banyak pula yang dipaksa pensiun dini. Ketika fase recovery dari pandemi ini, penerbangan langsung booming mendadak. Jumlah pilot tidak bisa mengimbangi tuntutan penerbangan.

Beberapa hari kemudian, saya membaca kalau sebagian operator lokal American Airlines sampai bersedia membayar pilot 50 persen lebih tinggi supaya penerbangan tidak terganggu!

Satu masalah punya chain reaction ke masalah selanjutnya. Kami memang kesulitan booking mobil di Portland. Tapi tidak terlalu memusingkannya, karena ada teman di sana bisa membantu mengantar. Masalahnya, kami baru landing pukul 02.30 dini hari. Dan itu mengakibatkan kamar hotel yang kami booking dianggap hangus.

Biasanya, petugas hotel (atau manajer) akan membantu mengurus administrasinya. Terburuk diminta bayar ekstra.

Kali ini, kami disambut petugas hotel yang "seru." Sama sekali tidak mau membantu. Bahkan, sebenarnya tidak mampu membantu karena tidak bisa mengoperasikan tablet komputer reservasi di meja. Bahkan manajer yang memandu lewat telepon pun ikut "menyerah." Intinya, kami tidak bisa dapat kamar dini hari itu, walau kamar kami sebenarnya masih tersedia.

Saya tidak ingin cerita panjang lebar betapa serunya (baca: sebal sampai geleng-geleng kepala) interaksi dengan petugas hotel itu. Saya ingin cerita bagaimana kami, khususnya sahabat kami Dietmar Dutilleux, dengan rajin berjalan ke hotel-hotel yang berdekatan. Ada hotel sebelah yang ingin membantu, tapi tidak ada kamar tersedia. Hotel itu penuh dengan kontingen perawat yang --ternyata-- sedang demo kenaikan upah di negara bagian Oregon.

Petugas hotel itu lantas mengantar Dietmar ke hotel sebelahnya lagi. Dan ini ciri orang Amerika yang selama ini saya kenal. Mau membantu sampai "lebih." Bukan sekadar menunjuk, tapi ikut berjalan mengantarkan. Dan di hotel itu kami bisa mendapatkan kamar. Catatannya, harus menunggu hingga pukul 07.00 ketika manager tiba. Sambil menunggu, kami boleh santai di lobi. Di situ tersedia kopi dan minuman. Kami juga tidak dilarang "klesetan" alias tidur-tiduran di lantai lobi.

Ketika manajer dan administrasi tak kunjung beres, petugas hotel membukakan kami kamar-kamar secara manual. Administrasinya diurus nanti saja, kata mereka. Terima kasih banyak!

Hari itu juga, kami dapat mobil di Portland. Hanya satu mobil tapi bisa ditumpangi delapan orang (Toyota Sienna). Sewanya mahal ampun-ampun, USD 800 hanya untuk dua hari. Tapi kami tidak punya pilihan. Saat itu benar-benar tidak ada mobil sewaan di Portland. Sesuatu yang superaneh.

Gara-gara itu pula, kami batal road trip dari Portland ke California. Kami langsung booking pesawat dari Portland ke San Francisco. Naik Alaska Airlines, dan penerbangan itu berlangsung smooth dan menyenangkan. Setelah berbagai urusan di Portland selesai (nanti akan hadir sebagai vlog/podcast di channel Mainsepeda di YouTube), kami benar-benar sudah tidak sabar segera pindah negara bagian!


Menikmati seafood restoran sesampai di San Francisco.

Tentu saja, ending perjalanan di Portland itu melanjutkan tren ruwet. Karena mobil sewaan berangkat mengangkut sebanyak mungkin barang, pagi itu kami masih kurang satu mobil. Saya dan Johnny Ray (partner saya podcast Mainsepeda) jadi yang terakhir.

Semua taksi online/aplikasi tidak merespon pagi itu. Tiga perusahaan taksi yang saya telepon juga tidak merespons. Bahkan, satu meninggalkan pesan menyatakan kalau perusahaan itu sudah gulung tikar.

Supaya tidak ketinggalan pesawat, saya mengambil langkah terakhir. Saya tanya petugas hotel itu. Saya tanya, apakah mobil double cabin (usang) di depan itu milik dia? Dan maukah dia mengantar saya dan Ray ke bandara? Saya julurkan uang USD 100. Dan perempuan itu dengan penuh semangat meninggalkan meja kerjanya di hotel. Dan hotel itu sama sekali tanpa petugas!

Untuk bisa memasukkan tiga koper yang tersisa, perempuan itu harus mengeluarkan kasur dan kotak-kotak pakaian dan perkakas dari belakang truknya. Rupanya dia termasuk "homeless," tren gaya hidup baru di Amerika dalam beberapa tahun terakhir. Ketika tidak bekerja di hotel, dia hidup dan tinggal di dalam truknya. Seekor kucing hitam besar ada di dalam truk itu. "Namanya Mickey," katanya.

Ya sudah, yang penting berangkat. Koper masuk semua. Saya duduk di "separo bangku" belakang, di sebelah Mickey. Ray duduk di depan.

Perempuan itu mengemudikan mobil dengan cekatan (baca: Agak menyeramkan). Tapi yang penting kami sampai bandara dengan selamat. Dan ontime. Kami bisa segera meninggalkan Portland.

Teman-teman semua, segala kejadian ini merupakan konsekuensi dari pandemi. Aftershock-nya pandemi. Ketika orang booming beraktifitas offline, segala infrastruktur dan SDM-nya tidak bisa mengimbangi.

Kenapa tidak ada mobil sewaan? Karena selama pandemi banyak perusahaan itu mengurangi inventory kendaraannya. Ketika booming, akhirnya tidak ada mobil tersedia. Ketika tersedia, mau tidak mau harganya selangit.

Kenapa SDM hotel sampai ada yang separah itu? Karena selama pandemi memang banyak yang berhenti bekerja, atau pindah pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Kemudian, karena adanya insentif bantuan pemerintah, banyak orang memutuskan tidak segera kembali bekerja. Petugas hotel yang tidak tahu cara check-in itu, rupanya adalah petugas laundry malam yang merangkap resepsionis.

Pekerjaan-pekerjaan "gaji minimum," khususnya di industri servis, menjadi yang paling terdampak. Kekurangan orang, kekurangan orang berkemampuan. Sampai-sampai orang homeless pun ikut menjaga hotel level bintang 2/3 (perempuan yang mengantar kami ke bandara itu baru lima hari bekerja di situ).

Dietmar cerita, ketika beberapa bulan lalu dia traveling ke kawasan lain Amerika, ada restoran yang terpaksa hanya "buka separo" karena kesulitan mencari karyawan pelayan dan cuci piring. Teman saya di Portland juga bilang, kalau sepertiga restoran di Portland sekarang masih belum buka setelah tutup selama pandemi.

Buat apa bekerja dengan gaji minimum, kalau penghasilan setara/lebih bisa didapat lewat bantuan pemerintah?

Rasanya akan butuh waktu beberapa bulan lagi (mungkin tahun?) hingga segalanya kembali normal. Paling tidak di negara seperti Amerika, yang tuntutan biaya hidupnya tinggi. Teman saya cerita, untuk bisa hidup layak di Portland butuh gaji minimal USD 22 per jam. Banyak pekerjaan yang sekarang "kosong" itu gajinya di bawah itu. Pelik juga...

Kami tidak merasakan ini di kawasan midwest, yang penduduknya memang lebih jarang dan secara overall hidup lebih tenang apa pun masanya. Tapi ke kota-kota yang lebih besar, problem itu cukup terasa.

Apalagi, sekarang inflasi sedang mengkhawatirkan. Biaya-biaya sedang meroket. Bahan bakar minyak yang paling terasa. Saat masih di Texas, Oklahoma, hingga Kansas, harga bensin termurah "hanya" di kisaran USD 4.29 per galon Amerika (beda dengan galon metrik). Itu kurang lebih Rp 17.500 per liter.

Ketika ke Portland, harga sudah di atas USD 5.50 per galon. Di California? Harga sudah mendekati USD 7 per galon. Itu hampir Rp 30 ribu per liter! Setiap kali kami mengisi bensin, Rp 2-3 juta harus dikeluarkan.

Dalam hal ini, bersyukur juga kita tinggal di Indonesia... (azrul ananda)

dbl.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: