Masjid Suro, Saksi Bisu Peradaban Islam di Kota Palembang

Masjid Suro, Saksi Bisu Peradaban Islam di Kota Palembang

SUMEKS CO PALEMBANG Masjid Mahmudiyah atau lebih dikenal dengan Masjid Suro menjadi saksi bisu peradaban Islam di Bumi Sriwijaya ini Pemberian nama Masjid Suro dikarenakan letaknya yang berada di Kampung Suro tepatnya persis di pertigaan Jalan Kirangga Wira Sentika dan Jalan Ki Gede Ing Suro Kelurahan 30 Ilir Kecamatan Ilir Barat II Palembang Nama tersebut melekat dikalangan masyarakat dahulu hingga sekarang Kalau untuk nama Masjid al Mahmudiyah ini karena diambil dari belakang nama pewakaf tanah masjid ini yakni Kiai Haji Khatib Mahmud kata Ketua Kepribadatan Hasan Basri kepada SUMEKS CO Minggu 24 4 Kiai Haji Khatib Mahmud adalah pewakaf dari masjid Suro ini Dan Kiai Mahmud memang dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Kampung Suro Ia menginginkan tanah miliknya diwakafkan untuk di dirikan masjid Tibalah pada peletakkan batu pertama tahun 1310 Hijriah atau 1889 Masehi Saat itu kondisi Indonesia masih diduduki Kolonial Belanda Hal itu pula membuat pembangunan masjid dilakukan secara bertahap Masjid ini dulu belum permanen dindingnya dari batu dan papan jelas Hasan Berdirinya Masjid Suro diprakasai oleh Kiai Haji Abdurrahman Delamat atau Kiai Delamat usai menyelesaikan belajar di Mekkah Diceritakannya saat usia muda Kiai Abdurrahman Delamat mendapatkan kesempatan dari Sultan Mahmud Badaruddin II untuk menempuh pendidikan di Mekkah bersama Kiai Marogan Sultan Mahmud Badaruddin II saat itu melihat kedua pemuda ini berbakat sehingga dikirim ke Mekkah Setelah selesai belajar keduanya kembali pulang ke Palembang lanjutnya Kiai Delamat dan Kiai Marogan bekerja keras menyebarkan ajaran agama Islam di Palembang Kiai marogan berfokus di wilayah Ulu sementara Kiai Delamat daerah Kampung Suro Namun saat itu kondisi penyebaran Islam masih dilakukan secara sembunyi sembunyi sebab Belanda menjaga dengan ketat Bahkan lebih dari 30 tahun setelah berdiri aktivitas salat Jumat di Masjid Suro tidak diperbolehkan Belanda karena khawatir pribumi akan melakukan pemberontakan kepada Kompeni Setelah 30 tahunan Belanda akhirnya memperbolehkan salat Jumat Dari situ masjid ini diperbaiki sedikit demi sedikit tuturnya Kendati begitu tidak berlaku untuk aktivitas mengaji Abdul mengatakan saat itu pembelajaran dan tadarus al Qur an masih dilakukan secara diam diam Masjid yang sudah berdiri 133 tahun ini ditetapkan pemerintah Sumsel sebagai cagar budaya Mulanya luas lahan masjid dikatakannya hanya 17 meter x 17 meter atau setengah dari bagian tengah masjid Saat ini Masjid Suro terbagi menjadi tiga bagian yakni tengah sisi kanan dan kiri Untuk bagian tengah menjadi lokasi utama ketika salat atau sebagai tempat imam dan saf laki laki Sementara bagian kanan menjadi lokasi berbuka puasa dan sisi kiri sebagai saf perempuan Sisi kanan dan kiri ini dulunya belum ada Baru tahun 1950an lahan mulai di lebarkan paparnya Walau sudah satu abad lebih berdiri beberapa ornamen Masjid Suro masih terjaga keaslinya Seperti tiang penyangga atau sokoguru mimbar imam dan kolam wudu laki laki Tiang penyangga Masjid Suro yang berjumlah 16 tiang ini terbuat dari kayu yang dibawa sang pendiri masjid Kiai Delamat dari tanah kelahirannya yakni Musi Banyuasin Hingga saat ini kondisi tiang penyangga ada yang masih bertahan walau dimakan rayap dan ada juga yang sudah diganti dengan tiang dari semen Ini cikal bakal berdirinya masjid kayunya sudah 100an tahun tukasnya Lanjutnya makam dari Kiai Haji Khatib Mahmud tepat berada diluar masjid tak jauh dari mihrab imam Sedangkan untuk makam Kiai Delamat sendiri berada sedikit jauh dari masjid Dan sampai saat ini zuriyat dari Kiai Delamat masih berada tak jauh dari Masjid Suro edy

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: