Elak Enggraini dan Isnawijayani.
Mahasiswa dan Gurubesar Ilmu Komunikasi universitas BinaDarma.
Iklan bukan hanya sarana promosi, melainkan juga ruang ideologis yang membentuk cara pandang masyarakat tentang perempuan. Gelombang kedua feminisme (1980–1990an) menunjukkan bahwa media kerap sarat bias patriarki dan sering mereproduksi ketidaksetaraan gender.
Salah satu konsep kunci yang lahir dari periode ini adalah male gaze (Mulvey, 1975), yaitu cara pandang media yang menempatkan perempuan sebagai objek visual bagi laki-laki heteroseksual, sebuah produk langsung dari struktur patriarki.
Calvin Klein adalah salah satu merek global yang paling sering dikaitkan dengan praktik ini. Sejak tahun 1980-an, iklan-iklan CK mencuri perhatian publik karena berani menampilkan tubuh perempuan dan laki-laki dengan sensualitas yang eksplisit. Misalnya, kampanye iklan jeans Calvin Klein tahun 1981 yang menampilkan Brooke Shields menjadi kontroversi besar.
Slogan “You want to know what comes between me and my Calvins? Nothing.” menjadikan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian, sementara produk jeans hanya jadi pelengkap. Kampanye ini bukan hanya menjual pakaian, tetapi juga “menjual tubuh” sebagai komoditas visual dalam sistem patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek kesenangan laki-laki.
Kecenderungan serupa muncul dalam iklan parfum dan pakaian dalam Calvin Klein di tahun 1990-an. Tubuh model perempuan ditampilkan dalam pose yang menekankan sensualitas, sering kali setengah telanjang, dengan kamera yang menyoroti detail tubuh tertentu: perut rata, dada terbuka, atau pinggang ramping.
Alih-alih memberi ruang bagi perempuan sebagai individu dengan agensi, iklan-iklan ini menempatkan mereka sebagai objek tatapan laki-laki heteroseksual. Male gaze yang dimaksud Mulvey tampak jelas: penonton diarahkan untuk “menikmati” tubuh perempuan, bukan memandang mereka sebagai subjek penuh. Dengan kata lain, iklan ini mereproduksi logika patriarki yang memaksa perempuan dilihat terutama dari nilai seksualnya.
Lebih jauh, standar kecantikan yang dibangun Calvin Klein sangat sempit. Perempuan yang muncul di iklan hampir selalu berkulit putih, bertubuh langsing, dan berusia muda. Representasi ini menyingkirkan keragaman tubuh perempuan yang sebenarnya ada dalam masyarakat. Feminisme gelombang kedua mengkritik keras pola semacam ini, karena media tidak sekadar menampilkan realitas, melainkan membentuk realitas dengan mendefinisikan apa itu cantik, seksi, dan pantas—tentu saja sesuai standar patriarki. Standar yang diulang-ulang ini semakin mengukuhkan dominasi patriarki dalam mengendalikan citra tubuh perempuan.
Namun, teori feminis juga menegaskan bahwa audiens tidak selalu pasif. Stuart Hall (1980) dengan konsep encoding–decoding menjelaskan bahwa pesan media bisa ditafsirkan berbeda oleh penontonnya. Sebagian audiens menerima pesan Calvin Klein secara dominan, melihat tubuh sensual sebagai standar kecantikan. Tetapi sebagian lain mungkin melakukan pembacaan negosiasi, atau bahkan menolak dengan mengkritik eksploitasi tubuh yang dilakukan merek tersebut. Kritik publik terhadap iklan CK yang dianggap terlalu vulgar menunjukkan bahwa audiens punya daya tawar, meskipun dominasi patriarki tetap kuat memengaruhi cara pandang masyarakat.
Di era digital, warisan male gaze dalam iklan Calvin Klein masih terasa. Meski merek ini mulai menampilkan model yang lebih beragam—termasuk kulit hitam, bentuk tubuh plus size, dan identitas gender non-biner—gaya visual provokatif tetap melekat. Kontroversi misalnya muncul pada kampanye CK tahun 2016 yang menampilkan model remaja dengan pose sensual yang dinilai problematis. Semua ini memperlihatkan bahwa tubuh, terutama tubuh perempuan, masih menjadi objek komodifikasi dalam struktur patriarki budaya populer.
Kehadiran Jennie BLACKPINK sebagai brand ambassador sejak 2021 mempertegas hal ini. Jennie, seorang perempuan Asia yang dianggap membawa representasi baru, tetap ditampilkan melalui lensa sensualitas khas CK. Pose tubuhnya dalam berbagai pemotretan menunjukkan bahwa meski ada keberagaman wajah, sistem patriarki tetap memanfaatkan tubuh perempuan sebagai daya tarik komersial. Dengan kata lain, tubuh Jennie tidak semata-mata dirayakan sebagai simbol agensi, tetapi juga dijebak dalam konstruksi patriarki yang memandang perempuan dari segi seksualitasnya. Popularitas global Jennie akhirnya menjadi alat kapitalis patriarki yang memperluas komodifikasi tubuh perempuan ke pasar Asia maupun internasional.
Kajian feminis gelombang kedua memberi kita kacamata kritis untuk membaca fenomena ini. Media tidak netral; ia adalah arena kuasa patriarki yang menentukan siapa yang terlihat, bagaimana mereka ditampilkan, dan siapa yang diuntungkan. Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan tubuh perempuan dijadikan komoditas demi menjual produk? Atau sudah saatnya menuntut representasi yang lebih setara, inklusif, dan manusiawi?
Pada akhirnya, membaca iklan Calvin Klein melalui kacamata feminisme gelombang kedua bukan hanya soal mengkritik media, tetapi juga soal menyadari bahwa patriarki masih beroperasi melalui visual-visual iklan. Dengan kesadaran kritis, kita bisa menuntut agar iklan tidak lagi menjadikan tubuh sebagai komoditas patriarki, melainkan ruang untuk merayakan keberagaman, kekuatan, dan agensi perempuan.