Penutupan mendadak wilayah udara menyebabkan banyak penerbangan harus dialihkan melalui Asia Tengah atau Arab Saudi, menyebabkan keterlambatan dan lonjakan biaya operasional.
Menurut organisasi Safe Airspace, konflik aktif seperti ini memerlukan kewaspadaan tingkat tinggi bagi maskapai dan regulator penerbangan.
Situs tersebut menekankan bahwa zona konflik kini menjadi beban besar dalam keselamatan dan efisiensi penerbangan komersial global.
Insiden ini mengingatkan pada serangkaian kecelakaan tragis akibat konflik bersenjata di wilayah udara:
2014: Malaysia Airlines MH17 ditembak jatuh di Ukraina timur.
2020: Ukraine International Airlines PS752 ditembak jatuh oleh militer Iran.
2023–2024: Insiden di Sudan dan Kazakhstan juga melibatkan penembakan pesawat sipil.
Menurut data dari Osprey Flight Solutions, sejak 2001, enam pesawat komersial telah ditembak jatuh secara tidak sengaja dan tiga lainnya nyaris menjadi korban.
Di akhir pernyataannya, Rafael Grossi menegaskan bahwa meskipun konflik saat ini semakin memanas, satu-satunya solusi berkelanjutan adalah melalui jalur diplomasi dan dialog damai.
“Jalan menuju perdamaian harus ditempuh melalui diplomasi, bukan misil dan ledakan. Masa depan kawasan bergantung pada kemampuan kita semua untuk menahan diri dan duduk bersama,” kata Grossi.
BACA JUGA:Boikot Produk Amerika Menggema Pasca Kenaikan Tarif Brutal Impor Amerika, Bakal Berhasilkah?
BACA JUGA:Boikot Produk Israel Sukses Besar, Gas Terus Sampai Kapanpun, Jangan Kasih Kendor!
Serangan Israel ke Natanz dan respons Iran serta negara-negara sekitarnya kini membentuk krisis multinasional yang tidak hanya berdampak pada geopolitik dan energi, tapi juga pada keselamatan penerbangan global dan stabilitas regional.
Dengan berbagai negara kini menutup wilayah udaranya dan maskapai global berlomba-lomba menyusun ulang rute, dunia menantikan peran diplomasi dan pengawasan internasional dari lembaga seperti IAEA untuk meredakan ketegangan.