“Sebelum ke Palembang, pihaknya sudah ke Kabupaten Garut. Juga menemukan ada ketidaksamaan cara memvalidasi dan memverifikasi antar kabupaten/kota,” jelasnya Fisca.
Hal ini harus diluruskan. Sebab, sebaik apapun desain program yang dirancang, jika tidak benar cara memvalidasi dan memverifikasinya, sulit menurunkan angka kemiskinan ekstrem.
BACA JUGA:Mulia Sekali! Lelaki Miskin Sedekahkan Uangnya ke Pengemis yang Ternyata Malaikat Menyamar
Karena bakal tidak tepat sasaran.
“Untuk itu, kita perlu melakukan identifikasi. Kita akan coba rumuskan kembali sehingga dapat menjadi masukan buat pemerintah pusat maupun rujukan di daerah,” bebernya.
Untuk mendapatkan data kemiskinan yang bisa menjadi rujukan dan valid, perlu standar sama.
Barulah data itu bermanfaat dalam menyusun program penurunan kemiskinan.
BACA JUGA:Warga Miskin Ekstrim Di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel Dapat Buku Tabungan
Kemudian perlu pedoman, siapa yang harus melakukan verifikasi dan validasi untuk di level daerah.
“Misalnya Dinsos, indikator apa saja yang digunakan biar standarnya sama dengan kabupaten/kota lainnya di seluruh Indonesia,” papar Fisca.
Dalam mengukur kemiskinan ekstrem antar negara, yang digunakan adalah standar pendapatan.
Jika penghasilan di bawah $1, 9 (estimasi $1 setara Rp11 ribuan) sudah dikatakan miskin ekstrem.
BACA JUGA:Warga Miskin Ekstrim Di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel Dapat Buku Tabungan
“Kalau di Indonesia, dihitung berdasarkan garis kemiskinan nasional,” ujarnya.
Garis kemiskinan nasional didasarkan atas garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-makanan.
Masing-masing ada komponen yang dinilai.