Maka, ketika pensiun ia akan menerima dana pensiun sebesar 75 persen x Rp 5 juta, yaitu sebesar Rp 3.750.000 per bulan sampai ia meninggal dunia.
Padahal bisa saja, ketika masih aktif bekerja PNS tersebut mendapat penghasilan yang lebih besar, karena masih menerima tunjangan dalam komponen penghasilannya.
Lalu berdasarkan pasal 17 UU Nomor 11 tahun 1969, jika pensiunan PNS-pegawai yang bersangkutan meninggal dunia, maka janda/dudanya akan menerima sebesar Rp 36 persen X Rp 3,75 juta, yaitu Rp 1.350.000 per bulan, sampai janda/duda tersebut meninggal dunia.
Nah, yang mungkin kemudian menjadi pertanyaan adalah berapakah bagian yang harus ditanggung oleh pemerintah dari skema ini?
Dari simulasi di atas, PNS tersebut memiliki masa kerja 36 tahun. Asumsi rata-rata gaji pokoknya adalah Rp 4 juta.
Maka PNS tersebut telah melakukan iuran sebesar 4,75 persen x Rp 4 juta x 36 tahun x 12 bulan, yaitu sebesar Rp 82 juta.
Lalu, kita asumsikan PNS tadi pensiun usia 58 tahun, lalu meninggal dunia pada usia 70 tahun (12 tahun kemudian).
Artinya, selama 12 tahun tersebut, PNS yang bersangkutan menerima pembayaran uang pensiun sejumlah Rp 3,75 juta x 12 tahun x 12 bulan, sama dengan Rp 540 juta.
Perhitungan ini belum ditambahkan dengan pembayaran untuk janda/dudanya.
Artinya, dari Rp 540 juta yang dibayarkan kepada pensiunan tersebut, hanya Rp 75 juta yang merupakan iuran dia sendiri, sedangkan sisanya sebesar Rp 465 juta ditanggung oleh APBN.
Nah, dapat dibayangkan sampai berapa lama pemerintah harus menanggung beban pembayaran pensiun PNS ini, hingga ke janda/duda PNS tersebut meninggal dunia dikalikan dengan ribuan PNS yang ada saat ini.
Sebuah rentang waktu yang tidak pasti, bukan? Maka dalam perspektif inilah, maka skema pay as you go yang saat ini berlaku sesuai UU Nomor 11 Tahun 1969 tersebut dianggap akan terus membebani APBN.