Dan “Kami tetap akan melaksanakan Pemilihan Wabup karena tidak memakan banyak biaya dan kode rekening yang dipakai yaitu Pelaksanaan Tugas dan Fungsi DPRD yang sudah dianggarkan di Anggaran Induk Tahun 2022”. Selain itu “Mengenai anggaran proses pemilihan dari tahap awal sampai pemilihan, pihaknya (Dewan, red) menggunakan anggaran yang melekat di sekretariat dewan. Contoh, konsultasi pengecekan kebasanan dokumen, foto copy, pelaksanaan pemilihan, komsumsi dan lain-lainnya itu melekat di sekretariat dewan.
Kesannya, lanjut Firmansyah, seolah-olah Dewan berhak menggarkannya sendiri. Harus diingat, terselenggaranya pemilihan itu pendanaannya bersumber dari dan atas beban APBD.
Karena tidak dianggarkan, berarti ada pergeseran mata anggaran lain yang digunakan.
“Hal yang demikian tidak dapat dibenarkan dan berpotensi melanggar hukum. Kecuali dalam keadaan darurat dan mendesak, misalnya bencana alam. Pemilihan wakil bupati jelas tidak termasuk kategori keadaan darurat atau mendesak,” jelasnya.
BACA JUGA:Pasca Demo Tolak Kenaikan BBM, Lalu Lintas di Palembang Berangsur Normal Kembali
Lanjutnya, larangan tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bahwa : Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berkaitan dengan pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiaya pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Pada Pasal 59 ayat (1) menyatakan: Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan ini sangat jelas bahwa DPRD Cq. Pansus Pemilihan apapun alasannya dilarang menggunakan anggaran untuk membiayai suatu kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD tahun berjalan.
Dengan telah dilaksanakannya pemilihan wakil bupati, sementara anggaran yang digunakan bersumber dari APBD yang bukan peruntukannya, merupakan pelanggaran hukum maka kerugian yang ditimbulkan merupakan kerugian Keuangan Negara/Daerah yang dalam hal ini Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim.
Setidaknya kasus ini, sambungnya, bisa menjadi entry point bagi aparatur penegak hukum untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Sebab kalau hal ini dibiarkan justru menjadi preseden buruk dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya Kabupaten Muara Enim.
BACA JUGA:Pasca Demo Tolak Kenaikan BBM, Lalu Lintas di Palembang Berangsur Normal Kembali
“Dari sisi hukum pidana, perbuatan (delik) itu sudah selesai (voltoid) dan kerugian keuangan negara/daerah sudah terjadi. Terlebih jika ada sikap batin atau niat jahat (mens rea) dalam melakukan perbuatan (actus reus). Maka pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan, membantu melakukan, mengarahkan atau memberi perintah, patut dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Sedangkan soal penghitungan besaran kerugian keuangan negara/daerah tentu menjadi tugas auditor BPK atau BPKP atau Inspektorat untuk melakukan audit investigative,” terangnya.
Apabila terbukti perbuatan itu, kata dia, memenuhi unsur melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang, dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau menguntungkan kelompok tertentu.
Maka dapat dikualifikasikan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dapat tidaknya perbuatan itu ditindaklanjuti, lanjutnya, semua ini kita kembalikan kepada Aparatur Penegak Hukum yang berwenang.
Pemberantasan korupsi merupakan agenda besar pemerintah karena pada dasarnya kejahatan korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara/daerah, tetapi merupakan pelanggaran hak asasi manusia, terutama tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat atas kesejahteraan dan kemajuan ekonomi serta mengganggu pembangunan daerah khususnya Kabupaten Muara Enim.(*)