SUMEKS.CO, JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) menilai keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Irjen Pol Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri, karena adanya pelanggaran etik.
Hal itu diungkapkan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso. Dia menduga pencopotan Ferdy Sambo karena adanya pelanggaran kode etik.
Sugeng menduga pencopotan Irjen Ferdy Sambo terkait perusakan tempat kejadian perkara (TKP) dan penghilangan barang bukti kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. "Diduga ada perintah Ferdy Sambo kepada anggota Propam (bawahannya) dan juga penyidik Polres Jakarta Selatan untuk menutup fakta," kata Sugeng kepada JPNN.com, Jumat (5/8).
Brigadir J tewas dalam insiden yang disebut polisi sebagai baku tembak dengan Bharada E di rumah dinas Ferdy Sambo. Belakangan, Bharada E menjadi tersangka kasus pembunuhan yang dilaporkan pengacara keluarga Brigadir J. Dugaan penutupan fakta yang dimaksud Sugeng, meliputi olah TKP yang tidak dilakukan dengan benar serta pengambilan rekaman CCTV dan barang bukti lainnya.
Apakah dugaan Sugeng ada kaitan dengan kode senyap? Pakar psikologi forensik Indragiri Amriel punya analisis tentang code of silence atau kode senyap dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Analisis itu belakangan dikuatkan dengan pemeriksaan 25 polisi berpangkat brigadir jenderal hingga tamtama lantaran dianggap tidak profesional menangani TKP tewasnya Brigadir Yosua.
Reza menjelaskan di dalam kepolisian terdapat istilah code of silence yang artinya kode senyap atau kode diam.
Menurut penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu, istilah kode senyap menunjuk kepada subkultur menyimpang personel dengan menutup-nutupi kesalahan sejawat.
"Di psikologi forensik sendiri ada istilah wall of silence atau code of silence. Ini adalah subkultur menyimpang yang ditandai kecenderungan personel polisi menutup-nutupi kesalahan atau aib kolega mereka," kata Reza Indragiri kepada media ini, Jumat malam.
Dia mengatakan ketika sejawat berpangkat atau berjabatan tinggi, code of silence makin mungkin terjadi. "Sejawat sementereng itu punya efek psikologis yang intimidatif terhadap penyidik," lanjutnya. Terlebih lagi ketika ada lebih dari satu sejawat dan salah satunya lebih tinggi pangkatnya daripada personel lainnya, maka code of silence bisa saja dilakukan dengan mengorbankan personel yang berpangkat lebih rendah.
Apakah code of silence terjadi atas komando? Reza menjelaskan ada riset yang menemukan penyimpangan (misconduct) pertama kali dilakukan personel pada penugasan pertama pascapendidikan.
"Pengaruhnya datang dari senior langsung. Lalu, ketika ditanya, siapa yang bisa berpengaruh menghentikan misconduct, jawabannya juga sama: senior," kata Reza.
Menurut pria yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) itu, temuan riset tersebut memperlihatkan betapa gerak organisasi kepolisian, baik negatif maupun positif, sangat dipengaruhi oleh senioritas.
"Mari kita gabung dua riset tadi, yaitu tentang kode senyap dan efek senioritas. Kemungkinan penyimpangan dalam proses investigasi muncul sebagai akibat pengaruh negatif senior, dan penyimpangan atau pun pengaruh itu akan ditutup sedemikian rupa," ujar Reza Indragiri Amriel. (fat/dom/jpnn)