Oleh Dahlan Iskan SAYA bukan mudik ketika ke Kaltim tiga hari lalu Saya harus ke suatu tempat yang mohon maaf lahir batin ternyata pernah saya datangi 45 tahun yang lalu untuk mengunjungi pacar waktu itu Sekaligus mengajaknyi pulang kawin Sejak itu belum pernah saya ke situ lagi Coba tahu lokasinya di itu saya ajak serta mantan pacar itu Sekalian bernostalgia Tapi tidak Perjalanan ini
sangat melelahkan Bukan seperti di zaman pacaran dulu Yang perjalanannya sangat mulus di atas permukaan air sungai Mahakam yang tenang Naik perahu Kali ini saya naik mobil yang belum ada jalan ini di zaman itu Kami tiga mobil Yang dua Pajero 4x4 Agar cocok dengan kondisi lapangan Satunya lagi kendaraan double cabin khusus sebagai mobil penolong Siapa tahu hujan Lalu terjebak di kubangan Tali penarik pun disiapkan di mobil penolong itu Untuk mencapai daerah ini dulu hanya bisa dengan naik perahu Yang
kecepatannya hanya sekitar 5 km jam Bahkan nyaris tidak bisa maju kalau lagi melawan arus Zaman itu saya berangkat dari Samarinda Membawa tikar selimut dan bantal Berangkat pukul 10 pagi Tiba besok lusanya dua harmal Perahu itu mampir mampir di dermaga Kadang untuk menurunkan penumpang Atau menurunkan barang Kadang ada orang yang melambaikan tangan dari atas sebuah dermaga itu calon penumpang yang harus dinaikkan perahu Sekali mampir bisa sebentar bisa juga berjam jam Tidak ada yang
mengejar waktu Tidak ada yang buru buru Hidup sangat rileks Semua penumpang kumpul di geladak Sambil duduk santai atau tiduran Ada juga yang duduk duduk di atas atap Tidak ada HP tidak ada laptop tidak ada iPad Pilihannya ngobrol atau melamun Sambil melihat pohon pohon rindang di tepian sungai Mahakam Ada juga yang sambil memancing untuk lauk makan di perahu itu juga Zaman itu ikan patinnya masih alami Besar besar Itulah ikan yang menurut penduduk setempat makan buah ngingas yang jatuh ke sungai Begitu banyak pohon ngingas yang rimbunnya bisa menaungi perahu di bawahnya Buah ini tidak bisa dimakan manusia Juga bisa membuat
gatal yang luar biasa Patin buah ngingas seperti itu lezatnya tidak bisa ditemukan lagi sekarang Hampir tidak terlihat lagi pohon ngingas Beda sekali dengan perjalanan saya kali ini Pakai mobil Harus buru buru Dikejar jadwal Berangkat harus dini hari Sore itu juga harus tiba kembali di Samarinda Habis makan sahur langsung berangkat Sebelum waktu berbuka puasa harus sudah tiba kembali di Samarinda Hidup kini begitu tergesa gesa Begitu emosi Begitu tidak alami Hidup begitu menyiksa Untuk apa hidup seperti itu Untuk apa Saya tidak bisa menjawab misteri hidup harus terburu buru seperti itu Saya jalani saja Saya harus berlebaran dengan keluarga Tidak mudah mencari tiket di hari dekat Lebaran Awalnya saya mau tiga hari di Kaltim Agar lebih cocok dengan tubuh tua Tapi hanya
ada tiket pulang di tanggal yang buru buru itu Pun mahalnya bukan main 15 kali lipat dari normal Tarif pesawat pun ikut buru buru menaikkan harga seperti tidak ada regulator di Indonesia Posisi saya memang lemah harus pulang sebelum Lebaran Agar tidak mendapat gelar Bang Toyib Saya sahur di kota Tenggarong ibu kota Kutai Kartanegara Kabupaten ini luasnya melebihi Jawa Timur Pun setelah dipecah tiga Kutai Timur Kutai Barat dan kabupaten induk Kutai Kartanegara Kecamatan terdekat berikutnya adalah Kota Bangun Kota ini ternyata hanya 2 5 jam dari Tenggarong Tidak lagi satu harmal seperti 45 tahun lalu Jarak begitu relatif Bahkan kalau
saja kondisi jalannya bisa seperti di Jawa 2 5 jam itu tinggal 1 jam Tapi jalan ini sempit Banyak kelok Banyak truk batu bara Banyak lubang Banyak yang memanfaatkan lubang itu untuk menarik sumbangan Kalau saja tidak puasa saya ingin mampir makan di Kota Bangun Makan ikan patin Juga ingin tahu apakah dermaganya masih kayu seperti zaman dulu Akhirnya kami mampir juga di kota kecil
pinggir sungai ini Bukan cari makan tapi cari solar Tidak akan ada yang jual minyak solar lagi di hutan nanti Kami pun mencari stasiun pompa bensin habis Tutup Cari lagi pompa bensin berikutnya juga habis Masih ada satu pompa bensin lagi pun habis Alhamdulillah Saya jadi punya kesempatan lebih banyak menjelajahi kota ini cari solar eceran di pinggir jalan Semua mobil dipenuhi bahan bakar lagi
Berangkat lagi Ke daerah seberang sungai Dari pinggir Kota Bangun ini sudah terlihat pemandangan mencolok mega struktur jembatan panjang Itulah Jembatan Martadipura Panjangnya 560 meter Tingginya 35 meter Melengkung di atas sungai Mahakam yang sangat lebar Jembatan Martadipura mirip dengan jembatan Mahakam lainnya Baik yang di Samarinda tiga buah atau pun yang di Tenggarong Inilah kali pertama saya melintasi Jembatan Martadipura Lebarnya 9 meter Kita serasa di San Francisco ujar teman saya semobil
Sungai Mahakam begitu lebar Pun di bagian hulunya di Kota Bangun ini Dari atas Jembatan Martadipura terlihat jembatan sejenis lainnya Di kejauhan sana Juga melengkung gagah Itu Jembatan Abunawas ujar teman saya itu Diberi nama Abunawas karena sudah lebih 1001 malam belum bisa digunakan Belum ada jalan menuju jembatan itu Baik dari sini maupun dari sana Saya begitu ingin melihatnya Apa daya Nanti sore sudah harus tiba kembali di Samarinda Kalau saja jembatan ini dihubungkan jalan ke Jembatan
Abunawas itu alangkah kerennya Jalan baru itu mungkin tidak akan pernah ada Dalam waktu dekat Jalan itu harus dibangun di atas rawa Mahal sekali Rawa itu sendiri berubah menjadi danau kalau air lagi pasang Di saat laut pasang air dari sungai ini tertahan di muaranya Sungai pun ikut pasang Kalau lagi pasang seperti itu ukuran danau di hulu jembatan ini bisa menjadi dua kali lipat Inilah
kawasan yang disebut Danau Semayang Yang bersatu dengan Danau Melintang Luas sekali Di ujung danau sebelah sana itulah pacar saya dulu mengajar Selama dua tahun Wajib Sebagai penerima ikatan dinas sekolah pendidikan guru SPG Lebih separo murid SD di situ dari suku Dayak Begitu luasnya Danau Semayang Perahu bermesin 12 PK pun perlu sehari penuh melintasinya Kala itu Sayangnya ini bukan danau di pegunungan Tidak bisa dibilang indah Batas pinggirnya tidak jelas Kalau air sungai lagi pasang ukurannya melebar
Maka kampung di sekitar danau ini adalah kampung air Rumah rumah kayunya disangga tiang tinggi Jalan setapak antar rumah juga dibangun dari kayu disangga tiang Tidak hanya banyak rumah manusia di rawa ini Juga rumah burung walet Rumah burungnya juga terbuat dari kayu Di atas rawa Selalu ada jembatan kayu menuju rumah rumah burung itu Masa depan kehidupan di sini akan begitu begitu saja Tentu sulit sekali meningkatkan kualitas kampung di sini Mahal sekali Apalagi untuk membangun infrastruktur seperti jalan
Luar biasa mahal Jalan yang mahal itu pernah dibangun Sukses Sepanjang 22 km Di atas rawa Konstruksinya beton Mulus Sepi Serasa di jalan tol di atas laut di Bali Saya kagum Di atas rawa di pedalaman Kaltim sejauh ini ada jalan seperti itu Semuanya Jembatan Martadipura dan jalan 22 km itu dibangun ketika Kutai Kartanegara dipimpin Bupati Ahmad Syaukani Langkahnya begitu besar untuk
memajukan pedalaman Lima kecamatan terisolasi langsung terhubung dengan kendaraan darat Syaukani pula yang membangun jembatan serupa nun jauh itu Yang disebut Jembatan Abu Nawas tadi Waktu tidak cukup Jalan mahal penghubungnya belum terbangun Syaukani keburu ditangkap KPK Kelak ketika Syaukani di dalam penjara putrinya Rita Widyasari terpilih jadi bupati Kukar Dengan